Ada yang memegang tasbih, ada yang memegang rosario. Hantu-hantu itu terbang berseliweran. Bertabrakan. Bahkan ada yang dengan sengaja menabrakku. Mungkin lantaran aku hantu yang berwarna abu-abu. Rupanya mereka geram melihatku. Mereka ingin aku berwarna merah atau putih, seperti kebanyakan dari mereka. Itu yang selalu mereka sebut ketika aku memaki jika ada yang nyaris menabrakku.

“Kamu meyakini kebenaran yang mana,” tanya mereka.

Aku cuma bilang aku wartawan.

“Aku tak boleh memihak. Aku mesti netral,” teriakku tak kalah keras dari bunyi bom yang baru saja meledak.

“Tapi korban terus berjatuhan. Sungai itu sudah penuh darah para syuhada,” teriak seorang hantu laki-laki muda dengan garang.

“Begitu pun para martir itu. Darah mereka sudah tumpah berliter-liter,” teriak seorang laki-laki muda lainnya.

“Anda harus memihak,” teriak yang lainnya lagi.

Aku akhirnya berlari ke toko milik Babah Hong yang nyaris terbakar habis di dekat terminal bekas kota elok itu. Aku mencari dua buah kaleng cat berwarna putih dan merah. Aku ambil kuas dan mengecat diriku. Sebelah kanan putih, sebelah kiri merah. Lalu kakiku kucat abu-abu, tanganku kucat hitam. Lalu kudatangi lagi mereka yang terus mendesakku untuk memihak.

“Ini aku warna-warni Indonesia. Seperti ajaran hantu bekas guruku itu,” kataku.

“Anda banci. Lebih baik anda memakai rok dan bergincu. Lalu berdiri di kolong jembatan sana menunggu para jejaka yang mungkin tertarik pada gincu tebalmu,” teriak mereka hampir bersama.

Mereka rupanya begitu marah melihatku. Mereka pun menghujamkan tombaknya ke tubuhku. Menembakku. Membomku. Memanahku. Mencabik-cabikku dengan pedangnya. Mengencingiku. Merampas buku catatanku, kartu persku, ballpointku, kartu ATM ku, SIM ku, dan menjambak-jambak rambutku yang kubiarkan gondrong.

Tubuhku seperti kain perca yang diguntiing-gunting dan dijadikan mainan oleh anak-anak taman kanak-kanak. Dari luka-luka yang menganga itu keluar darah berwarna putih, merah, hitam dan abu-abu. Tapi orang-orang itu tak perduli. Mereka masih saja menghujamkan tikaman belati dan mengayunkan pedangnya. Tanganku nyaris tanggal, leherku nyaris putus, kakiku nyaris putus. Dengan susah payah aku kemudian berlari ke kantor Polisi terdekat. Sambil berteriak, jika aku wartawan.

“Seperti juga kalian, pekerjaanku dilindungi undang-undang. Aku meminta perlindungan,” teriakku sambil menahan perih dari luka-lukaku yang menganga.

Tapi aku terkejut ketika para Polisi itu juga bertanya, “kau memihak siapa. Mengapa kau mengecat tubuhmu dengan warnah-warna itu.”

“Kau harus memihak,” teriak mereka lagi, seraya menodongkan senapan SS-1 dan M-16 padaku.

Mereka kemudian memuntahkan timah-timah panas yang sedari tadi bersembunyi di laras senapannya. aku terjungkal. Tubuhku berlubang-lubang. Darah warna-warni kembali muncrat dari lubang-lubang tubuhku. Aku berlari, tapi mereka masih tetap mengejarku.

Sambil tetap berteriak memaksaku untuk memihak putih atau merah. Aku betul-betul ketakutan. Baru kali ini aku dikejar-kejar para Polisi bersenjata itu. Nafasku tinggal satu-satu. Sampai kemudian