Oleh: Jafar G Bua
Kita telah lama hidup dalam dunia di mana tanah lebih dari sekadar bumi yang diinjak. Ia bisa menjadi modal, bisa menjadi alat negosiasi, bisa menjadi dalih kuasa. Sejak dulu, banyak korporasi bermohon kepada pemerintah untuk mendapatkan hak guna usaha (HGU) atau hak guna bangunan (HGB). Mereka menjanjikan pembangunan, kesejahteraan, lapangan kerja. Pemerintah memberi, dengan harapan tanah-tanah itu akan hidup, akan tumbuh menjadi kota atau kebun atau sawah yang menghidupi negeri.
Tapi kita memang kerap suka menangguhkan janji. Tanah yang diklaim dengan HGB seluas ratusan hektare hanya dipakai sebagian. Mungkin 10 hektare diubah menjadi perumahan, atau 20 hektare menjadi ruko. Sisanya? Dibiarkan tidur dalam keterlantaran yang panjang. Namun, keterlantaran itu bukan kebetulan. Karena tanah yang diam tetap bisa bicara di dunia keuangan: sertifikatnya dijaminkan ke bank, jadi modal bagi proyek di tempat lain. Dengan itu, mereka membangun—bukan di tanah yang diberikan, tetapi di tempat lain yang lebih menjanjikan laba.
Ketika pemerintah, bertahun-tahun kemudian, membutuhkan kembali tanah itu—untuk kepentingan umum, untuk redistribusi, untuk kehidupan—mereka meradang. “Kami punya HGB,” kata mereka. “Kami punya hak.” Padahal, mereka telah lama menangguhkan hidup tanah itu, menggunakannya bukan untuk membangun seperti yang dijanjikan, melainkan untuk bernegosiasi dengan kuasa lain.
Ini bukan cerita baru. Ia adalah cerita tentang bagaimana hukum dan kekuasaan bekerja dalam jalinan yang kadang-kadang tak masuk akal bagi orang yang hanya ingin sepetak tanah untuk hidup. Jika hukum adalah jaring yang menangkap, ia sering lebih erat mengikat yang lemah. Sementara itu, yang kuat bisa meloloskan diri, memanfaatkan celah, memainkan waktu.
Kita bisa mengenang kisah para sahabat Nabi Muhammad. Umar bin Khattab, dalam suatu riwayat, pernah mengajarkan bahwa tanah yang tak diolah selama tiga tahun harus dikembalikan kepada umat. (1)
Tanah, bagi Umar, bukan benda mati yang bisa diklaim tanpa tanggung jawab. Ia harus hidup. Ia harus berfungsi bagi manusia.
Untung saja Abu Dzar al-Ghifari, sahabat lain yang terkenal dengan kritiknya terhadap kesenjangan sosial, pernah memperingatkan bahwa harta yang berlebihan, sudah tentu tanah pula, yang dikuasai tanpa manfaat bagi orang banyak adalah pengkhianatan terhadap keadilan sosial. Ia memang dikenal sebagai pembela kaum miskin lagi papa. (2)
Ia percaya bahwa kelebihan harta, seharusnya tidak menumpuk di segelintir orang, sementara yang lain tak punya sepetak pun untuk berteduh.
Nabi Muhammad SAW sendiri pernah membagikan tanah kepada mereka yang mau mengolahnya, bukan hanya kepada mereka yang ingin memilikinya tanpa menggunakannya. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda, “Siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (2)
Apa yang disabdakan Nabi ini, dalam fikih Islam disebut dengan ihya’ al-mawat.
Tetapi menghidupkan tanah tidak sekadar memiliki sertifikatnya. Menghidupkan tanah berarti membuatnya berguna bagi kehidupan.
Jika para sahabat masih hidup hari ini, mungkin mereka akan bertanya: apakah kita masih mengerti makna keadilan dalam kepemilikan tanah? Apakah kita masih mengerti bahwa hak atas tanah bukan hanya soal legalitas administratif, tetapi juga soal manfaat bagi banyak orang?
HGB dan HGU, dalam praktiknya, telah menjadi semacam alat politik-ekonomi yang tak selalu berorientasi pada pembangunan. Ia sering kali lebih dekat dengan spekulasi ketimbang produksi. Dalam situasi seperti ini, yang kalah adalah mereka yang benar-benar membutuhkan tanah untuk hidup. Para petani yang ingin menanam tetapi tak punya lahan. Para penduduk kota yang ingin berteduh tetapi tanah sudah lebih dulu diklaim oleh yang tak menggunakannya.
Kisah ini akan terus berulang, kecuali kita kembali ke prinsip Umar, Abu Dzar, dan Nabi Muhammad SAW. Tanah bukan sekadar benda mati. Ia adalah kehidupan. Dan kehidupan tak boleh dimonopoli oleh segelintir orang yang hanya ingin menjadikannya angka di neraca keuangan.
Mungkin, pada suatu hari, kita akan menyaksikan sebuah masa di mana hukum dan keadilan kembali menyatu. Di mana tanah kembali kepada mereka yang benar-benar ingin menghidupkannya. Tak ada pula janji yang ditangguhkan.
*Penulis adalah Tenaga Ahli Anggota DPR RI, alumni Asia Journalism Fellowship (AJF) Singapura, 2019