Episode 4: Karavea, Pendekar Berkuda dari Tanjung Donggala – Kelana Sepasang Kekasih
Rembulan yang seolah tersangkut di pucuk rumpun bambu menyambut kepulangan Karavea, Batari Fatimah dan rombongan niaga Kerajaan Pujananti. Sudah hampir dinihari mereka baru sampai. Sebab tak buru-buru lagi seperti pagi tadi, mereka singgah mengaso beberapa kali sepanjang perjalanan. Dari Bandar Donggala ke Pujananti mereka melewati bentang alam indah dengan sejumlah anak sungai. Suguhan panorama alam begitu memukau.
Adapun Batari Fatimah, sungguh menikmati kebersamaannya dengan Karavea. Tadinya, mereka bersama-sama menunggang kuda, namun putri Luwu itu meminta naik gerobak beratap dan meminta Karavea bersamanya. Maka jadilah mereka kembali ke Pujananti menumpang gerobak itu. Sais gerobak menjalankan gerobak perlahan. Tak berani ia memacu sapi-sapinya. Apalagi dilihatnya calon Tuan Putri mereka itu sepertinya tidur sambil duduk. Di sampingnya Karavea tak berani terlalu banyak bergerak, ia kuatir membangunkan Fatimah. Perempuan itu memanja padanya. Sejak awal kepalanya bersandar di lengan kekar Karavea.
Tadinya, mereka duduk agak berjauhan, tapi melihat kepala Fatimah sesekali terjatuh ke samping, Karavea kemudian mendekat. Ia membiarkan lengan kekarnya menjadi bantal. Mungkin saja putri Luwu itu sudah menyadari, namun karena nyaman, ia terus saja tertidur, sampai mereka singgah di dekat anak sungai dan beristirahat makan.
“Adinda Fatimah, bangun…bangun,” panggil Karavea sembari menepuk halus tangannya.
Putri Datu Luwu itu gelagapan, meski antara sadar dan tidak, ia memang merasa tertidur bersandar lengan Karavea. Ia terlihat jengah. Memerah pipinya. Tapi melihat Karavea tersenyum simpul, hatinya pun tenang. Ia lalu buru-buru ke anak sungai dan membasuh wajahnya.
Sementara itu, yang lain tengah menyiapkan makan malam. Ada yang menanak nasi dan ada yang menyiapkan lauknya. Lauknya ikan asin yang baru saja di beli dari Bandar Donggala. Itu ikan asin dari Pagimana di wilayah di Kerajaan Benggawi, salah satu wilayah kekuasaan Kerajaan Majahapit di timur Celebes.
“Adinda, sudah bangun engkau rupanya. Ayo, hari ini kita berburu. Ini waktunya rusa turun ke dekat kampung. Kita tidak perlu jauh-jauh masuk ke hutan,” ajak Karavea, saat melihat Fatimah keluar dari Banua Oge Mombine di Kerajaan Pujananti. Banua Oge Mombine adalah kediaman khusus bagi para perempuan di kerajaan ini. Sedang yang disapa terlihat malu-malu, karena baru mau ke tempat pemandian khusus di belakang Banua Oge.
Semalam, setelah sampai mereka baru terlelap sekitar pukul dua dinihari. Mungkin karena dalam perjalanan Fatimah sempat tertidur, ia tetap terbangun di awal hari dengan segar. Dan baru kali ini, Karavea benar-benar terpukau menatap wajah putri Luwu ini. Wajahnya putih bersih. Rambutnya tergerai hingga ke pinggang rampingnya. Rambutnya hitam kecoklatan. Hidungnya kecil dan mancung. Dagunya melonjong telur. Matanya yang berhias alis bak semut beriring terlihat penuh percaya diri. Bibirnya yang memerah alami, tak terlalu tipis, tapi juga tak bisa dibilang tebal. Sungguh, putri Luwu ini seperti lukisan yang dibuat sendiri oleh Tuhan.
“Ananda Karavea…” Panggilan Pua Raja membuyarkan lamunannya. Sebenarnya sedari tadi, orang tua yang begitu dicintai rakyatnya itu, sudah memerhatikan Karavea. Hanya saja, ia membiarkan saja. Ia takut mengusik keasyikan anaknya yang terlihat tengah bermain-main dengan pikirannya itu. Barulah setelah Batari Fatimah berlalu, ia memanggil Karavea.
“Iya, Ayahanda Pua Raja. Maafkan saya, tak melihat kedatangan Ayahanda,” kata Karavea sembari bersedekap tanda hormat.
“Ananda, sepertinya pembicaraanku dengan Datu Luwu beberapa waktu lalu soal menjodohkan anak perempuannya denganmu seperti gayung bersambut. Ayahanda melihat kalian berdua benar-benar pasangan yang serasi. Fatimah pun pandai membawa diri. Ia cepat akrab dengan siapa saja. Ayah melihat sewaktu-waktu ia terlihat berada di dapur kerajaan membantu para pengurus makanan. Sewaktu-waktu, ia ada pula di kandang ternak membantu membersihkan kandang. Ia sungguh Putri Datu yang tak sok berkuasa. Ayah juga melihat semua orang menyayanginya,” ujar Pua Raja Pujananti.
Karavea yang memang juga sudah berniat menyunting Fatimah tinggal mengiyakan kata-kata Pua Raja. Semua yang dilihat Pua Raja yang bijaksana itu, juga sudah pula diamatinya. Meski demikian, Karavea mengatakan belum akan melangsungkan pernikahan dulu. Ia masih ingin berkelana ke Kerajaan Melayu di Swarnadipa, Jawadwipa, Bornoe dan beberapa kerajaan di timur seperti Ternate, dan Benggawi.
“Bila begitu kehendakmu, ayah mengusulkan agar kalian diikat dulu sesuai adat kita. Ayah akan mengirim kurir ke Kerajaan Luwu untuk memberitahu soal ini. Setelah ini akan kita bicarakan dulu, apakah Fatimah kembali dulu ke Luwu atau tetap di sini selama menanti kepulanganmu dari kelana,” sebut Pua Raja menyepakati keputusan Karavea.
Malam harinya, Pua Raja memanggil Fatimah. Kepadanya diceritakan keinginananya itu. Seperti Karavea, ia pun menyetujui kehendak Pua Raja. Ia pun menyatakan mengikuti kemauan Karavea untuk menunda pernikahan.
“Saya mau mengikuti Kakanda Karavea berkelana ke mana saja. Saya berjanji tak akan merepotkan. Saya pun bisa mengurusi diri sendiri,” katanya membulatkan hati.
Meski dibujuk untuk tak turut serta, Fatimah tetap kukuh. Akhirnya Karavea pun mengalah. Mereka sudah merencanakan akan berangkat seminggu lagi. Dari Pujananti mereka akan berlayar menuju Tanah Mandar, lalu ke Soreang dan dilanjutkan berkuda ke Luwu. Di Luwu mereka akan menghadap Datu Luwu Batara Guru. Pua Raja Pujananti sebelumnya sudah mengirimkan kurir untuk memberitahu keinginannya mengikat jodoh Karavea dan Fatimah.
Pendek kata, waktu keberangkatan Karavea dan Fatimah sudah tiba. Kapal mereka pun sudah siap. Angin dari timur sedang kencang-kencangnya bertiup. Artinya layar mereka akan selalu terkembang penuh hingga di Tanah Mandar. Ada tiga puluh orang yang mengiringi keberangkatan mereka. Nahkoda dan para kelasi sudah pula bersiap. Kapal yang mereka pakai adalah jenis Jung. Itu hadiah dari saudagar Zhōngguó, sahabat Pua Raja.
Dilepas dengan isak tangis, Karavea dan Fatimah menuju Bandar Donggala. Pua Raja memberikan banyak hadiah perhiasan emas dan perak ke calon menantunya itu.
“Ananda Fatimah, ini tanda mata dariku untukmu dan ada pula bagian ibumu. Sampaikan salam hormatku pada Datu Luwu dan Permaisuri. Bila tak ada aral melintang, Kami dari Pujananti akan berkunjung ke Kerajaan Luwu, dalam waktu tak terlalu lama,” tukas Pua Raja.
“Untukmu Ananda Karavea, sampaikan hadiah dariku untuk Datu Luwu berupa Guma Kalama, Siga dan pakaian dari kulit kayu ini. Untuk Permaisuri, calon ibu mertuamu bawakan pula pakaian dari kulit kayu buatan mendiang ibumu. Itu memang hendak dihadiahkannya kepada Permaisuri Datu Luwu. Selalu berhati-hatilah dalam perjalanan. Jaga baik-baik calon istrimu. Bila ada alang rintang dalam perjalanan, kalau bisa dihindari, harap dihindari, bila tidak, hadapi dengan kemampuanmu,” panjang lebar Pua Raja memberi wejangan kepada putra kebanggaannya itu.
“Adapula Ayahanda siapkan sepuluh Guma sebagai tanda mata dari Pujananti untuk Datu-datu di Kerajaan yang akan engkau singgahi selama dalam perjalanan,” sambung Pua Raja.
Selama Karavea berkelana, Pasukan Khusus Pengawal Istana dipimpin oleh Kalaya dan Lauju serta beberapa pimpinan pasukan lainnya. Mereka digembleng langsung oleh Karavea. Mereka adalah pendekar utama. Mereka adalah anggota pasukan terpilih dari ribuan Pasukan Khusus itu. Karavea sendiri sudah menyakikan Pua Raja, bahwa di tangan mereka, keamanan Kerajaan Pujananti akan terjamin.
Pua Raja ingin memastikan ladang pagi, lahan cendana wangi, lokasi tambang emas dan perak yang menjadi sumber utama kemakmuran kerajaan ini aman dari gangguan apapun. Meski memang selama ini tak pernah ada yang berani mencuri di kawasan kerajaan itu. Sebab hukumannya sungguh berat bila ketahuan. Berdasarkan hukum Pujananti, bagi rakyatnya yang ketahuan mencuri diminta mengganti apa yang hendak dicurinya berkali lipat. Bila masih mengulangi akan diusir dari Kerajaan dan dibuang ke pulau terjauh di tengah lautan. Bila orang luar yang mencuri hukumannya dipotong anggota tubuhnya atau dihukum mati.
Tak terasa, Jung yang membawa Karavea dan Fatimah telah membuang sauh di Tanah Mandar. Di Muara mereka sudah disambut utusan dari Kerajaan Balanipa yang memang sudah mendapat kabar kedatangan Putra Pua Raja Pujananti dan Putri Datu Luwu.
Karavea tak terkejut lagi dengan sambutan itu. Ia sudah mahfum akan kesaktian Ayahandanya. Adakalanya, Pua Raja bisa terlihat di beberapa tempat dalam sekali waktu. Ada kalanya, ia sudah tiba lebih dahulu di tempat yang akan dituju oleh Karavea. Bahkan pernah suatu ketika Karavea mengantarkan tanda mata dari Ayahandanya ke Kerajaan Benggawi, tanpa didahului kurir, namun sesampainya ia di Bandar Benggawi, orang sudah menyambutnya.
Seperti itulah yang terjadi di Balanipa. Ia dan Fatimah beserta rombongan lainnya diarak dengan kuda ke Istana. Di sana mereka dijamu dengan penuh kekeluargaan. Usai itu mereka pun melakukan pertukaran tanda mata.
Dari Mara’dia Balanipa, I Manyambungi Todilaling, Karavea mendapat sepucuk Jambia. Ini adalah senjata khas Orang Mandar. Bentuknya serupa badik. Gagangnya terbuat dari tulang rusa dan sarungnya terbuat dari kayu cendana. Di hulu sarungnya ada lingkaran pelat emas. Sungguh hadiah yang indah. Ada pula sutra Mandar dililitkan di sarungnya. Pamornya pun indah. Adapun Karavea membawa titipan Guma Kalama dari Pua Raja. Senjata khas Pujananti itu tak kalah indah. Gagangnya dari kayu hitam. Sarungnya dari kayu cendana. Pamornya pun menawan. Bila Guma dibuat dari campuran besi, tembaga dan sedikit emas sehingga menjadi berkilau.
Karavea dan Fatimah diminta menginap di kediaman Mara’dia Balanipa yang juga berfungsi sebagai istana. Ini membuat keduanya kagum. Rumah Raja terpilihlah yang menjadi Istana. Itu agar rakyat mudah berurusan dengan pemimpin mereka. Rupanya di Balanipa, pemilihan raja tidak didasarkan pada garis keturunan, melainkan berdasarkan kemampuan dalam memerintah. Calon raja harus memiliki etika yang baik, memiliki prestasi, serta mencintai masyarakat dalam kerajaannya. Para calon raja dipilih dan diangkat oleh Appe Banua Kayyang, sejumlah penguasa dari beberapa wilayah sebagai perwakilan rakyat. Para raja yang terpilih mendapatkan pengawasan ketat dari Appe Banua Kayyang. Raja yang melakukan pelanggaran kekuasaan akan diberhentikan dari posisinya, baik oleh masyarakat sendiri atau diwakili oleh para penguasa wilayah itu.
Malam pun makin larut. Baik Karavea dan Fatimah masing-masing tenggelam dalam lamunan mereka. Karavea menilai Fatimah adalah perempuan dan calon istri yang pantas, sedang putri Luwu itu pun menilai Pendekar dari Pujananti itu sebagai lelaki dan calon suami yang layak. Sebab mereka belum diikat oleh tali pernikahan, mereka tidur berjauhan tilam dalam sebuah kamar luas di kediaman Mara’dia Balanipa. Mungkin sepuluh depa jaraknya. Sesekali mereka bersitatap bila berbalik badan. Karavea hanya melepas senyum, sementara Fatimah tersipu malu. Sungguh keduanya telah diamuk rasa hati yang mendalam. ***