Kota Donggala, Sulawesi Tengah menyajikan banyak tawaran pelesiran. Salah satunya menonton para penenun Buya Sabe, sarung Donggala. Lalu, menikmati pasir putih Tanjung Karang atau menyicipi Kaledo, makanan khasnya.

Hari ini, perjalanan akan kita mulai dari desa para penenun Buya. Pagi baru merekah, masih tersisa langit yang memerah saga di ufuk timur. Mentari tentu dinikmati dari pesisir laut Teluk Palu atau dari ujung teluk, tepatnya di Kota Donggala.

Bila Anda belum pernah mendengar namanya, bolehlah membaca buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck milik Buya Hamka, ulama dan budayawan kesohor di masanya. Atau bacalah Tetralogi Pulau Buru milik sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Di kedua buku itu, nama Donggala disebut sebagai tempat singgah para pelaut Nusantara dan Mancanegara.

Ya, Donggala identik dengan pelabuhan lautnya. Kota tua ini pernah menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda. Pelabuhannya dijadikan Belanda menjadi pelabuhan niaga dan penumpang. Tidak heran masih banyak bangunan tua tersisa di kota ini.

Dari Kota Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah perjalanan menuju Donggala bisa ditempuh tidak lebih dari satu jam. Jaraknya hanya 40 kilometer. Pilihan kendaraannya terserah kita. Jika ada wisatawan yang mau datang dari Jakarta, bisa dengan pesawat Lion Air, Wings Air, Sriwijaya Air atau Garuda selama dua jam. Lalu transit di Makassar atau Balikpapan, dan 55 menit kemudian akan tiba di Bandara Mutiara Palu.

Dulu, hingga 2000-an awal, kita masih bisa menemukan taksi bandara berjenis sedan yang khusus melayani penumpang ke Donggala. Waktu itu dari Bandara Mutiara Palu ke Donggala kita dikenai tarif Rp100 ribu hingga Rp150 ribu dengan lama perjalanan antara 30 menit hingga 45 menit. Sekarang tak ada lagi. Kita hanya bisa menyewa mobil yang dibandrol Rp250 – Rp300 ribu per hari.

Dan hendak ke mana kita bila sudah sampai di Donggala? Tenang saja, tawarannya, mau ke pantai pasir putih Tanjung Karang dulu atau menonton para penenun di Banawa Tengah atau Banawa Selatan atau menikmati makanan khas Kaledo?

Rasa-rasanya kita boleh memulai perjalanan dari Banawa Tengah. Jaraknya hanya 2 kilometer arah barat Kota Donggala. Di sana kita akan menyaksikan tangan lincah para remaja dan orang tua memainkan balida di alat tenun tradisional pembuat Buya Sabe.

Dari jauh bunyi hentakan balida yang bertemu dengan pasak alat tenun tradisional sudah terdengar bunyinya. Itu tandanya kita sudah dekat dengan Desa Limboro, Kecamatan Banawa Tengah, Donggala.

Balida itu, sebuah kayu panjang yang menjadi pemberat di tengah lipatan kain tenun saat penenun memasukkan benang-benang. Biasanya terbuat dari kayu ulin atau ebony.

Selama ini orang hanya mengenal kain tenun Songket dari Palembang atau Ulos dari Sumatera Utara. Padahal, di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, pun ada sarung tenun yang sangat terkenal. Namanya Buya Sabe, yang bahan bakunya benang sutra.

Salah satu pusat Buya Sabe berada di Desa Limboro. Di sana puluhan penenun setiap hari bekerja. Yang menarik, tidak cuma para perempuan paruh baya berusia 50 – 60 tahun yang menjadi penenun, tapi juga pada gadis remaja berusia 12-20 tahun. Hingga awal 2000-an jumlah penenun mencapai seratusan. Kini sudah berkurang.

Biasanya mereka bekerja sejak pukul 09.00 – 12.00. Lalu diteruskan lagi pukul 13.00 – 17.00. Ada pula yang menenun di malam hari mulai pukul 19.00 – 22.00. Bagi ibu rumah tangga, mereka menyelesaikan dulu urusan masak-memasak dan mengatur rumah. lalu kemudian menenun. Sementara bagi gadis remaja, ada yang pergi ke sekolah, ada pula yang membantu orang tuanya.

Untuk setiap satu helai Buya Sabe mereka dibayar Rp 150 ribu. Rata-rata masyarakat Limboro adalah petani, tapi ada pula satu dua yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Karenanya, bertani dan menenun tentu saja adalah sumber mata pencaharian mereka yang utama. Pembuatan tenun Buya Sabe ini, hampir sama dengan pembuatan tenun-tenun yang ada di daerah lain. Baik dari proses pewarnaan benang hingga penenunan.

Coraknya beragam. Antara lain, kain palekat garusu, buya bomba, buya sabe, kombinasi bomba dan sabe. Dari sekian corak tersebut, buya bomba yang paling sulit, hingga membutuhkan waktu pengerjaan satu hingga dua bulan. Berbeda dengan corak lainnya yang hanya membutuhkan waktu satu hingga dua minggu saja.

“Untuk Buya Bomba, kami mengerjakannya dengan sangat hati-hati. Karena corak yang akan dihasilkan sangat banyak. Biasanya pembuatannya sampai dua minggu atau sebulan. Biasa ada yang bilang corak bunga mawar,” kata Habona,salah seorang perempuan penenun di Limboro yang saya temui beberapa tahun silam.
Kalsum, seorang gadis remaja juga berkata senada. “Susah juga awalnya, setelah terbiasa kita jadi menikmatinya,” aku Kalsum yang belajar menenun dari ibunya.
Tenun Buya Sabe bisa ditemukan di sepanjang Limboro, Salu Bomba, Tosale, Towale dan Kolakola. Desa-desa itu berada di sebelah barat Kota Donggala.

Selain pewarisan turun temurun, tenun Buya Sabe juga dilindungi dengan Peraturan Daerah oleh Pemerintah Kabupaten Donggala. Bahkan di tingkat Provinsi Sulawesi Tengah. Sayangnya aturan itu sepertinya dilupakan. Mestinya setiap akhir pekan, para aparatur sipil negara diwajibkan memakai batik yang terbuat dari Buya Sabe. Sekarang yang dipakai beragam baju batik yang tentu sebagian besar berasal dari pabrikan di Jawa.

Itulah yang membuat Imam Basuki resah. Meski dia bersuku Jawa namun sudah puluhan tahun bergelut dengan tenun buya sabe. Sekarang ia didapuk menjadi Ketua Asosiasi Sarung Tenung Donggala.

“Dukungan dari Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah dan Pemerintah Kabupaten Donggala sangat kami butuhkan. Bila saja semua baju batik yang wajib dipakai para pegawai di akhir pekan kerja dibeli dari para perajin yang ada, kami yakin mereka akan hidup dan bertahan,” kata dia.

Saya dan saya yakin kita semua pasti berharap seperti Imam Basuki. Tinimbang membeli dari luar daerah, ada pilihan yang lebih dekat. Anda sepakat?! ***