Saya sendiri tak tahu tepatnya berapa usia kakek kami ini. Yang jelas, ia sudah remaja saat tsunami menghantam Tanjung Polande, Parigi Moutong pada 1921. Mungkin sekarang ia mendekati 90-an tahun. Semasa hidupnya, ia seorang pekerja keras. Menyambung silaturahmi adalah keniscayaan dalam hidupnya. Jauh jarak bukanlah alangan.
Suatu waktu, ia berjalan kaki dari Ampana ke Uekuli di wilayah Tojo Unauna hanya untuk menghadiri pesta saudaranya. Di lain waktu, ia sudah berada di Luwuk. Jarak Parigi Kota ke Dolago atau Sausu Peore di Parigi Moutong, misalnya di waktu lalu pernah ditempuhnya berjalan kaki sekadar bersilahturahmi.
Kebiasaannya bersilaturahmi itulah yang membuatnya dikenal di mana-mana. Itu pulalah yang bisa jadi memanjangkan usianya seperti janji Rasulullah SAW bagi umatnya yang suka menyambung silaturahmi.
Di masa muda, perawakannya tegap. Tingginya nyaris 170 centimeter. Wajahnya tampan nan menawan. Berkulit putih dan berhidung mancung seperti keturunan Timur Tengah. Namanya Ismail Saribu.
Ia pergi hari ini menemui Allah SWT dan istri terkasihnya, sosok nenek yang kami panggil Nempuang. Sedang ia sendiri kami sapa Neaki. Nempuang merujuk ke Nenek Perempuan dan Neaki ke Nenek Laki-laki. Ada khilaf bahasa yang kemudian menjadi kemakluman semua orang bahwa semua orang tua kami panggil nenek, lelaki atau perempuan.
Tak cuma kami, para cucunya yang memanggilnya dengan Neaki. Orang sekampung pun memanggilnya begitu, kecuali bila ia ke Poso dan Tojo Unauna, mereka memangggilnya Ngkai. Itu sesuai dialek bahasa ibu Bare’e. Maknanya sama; Kakek.Neaki adalah bapak dari almarhumah ibu saya, Fauziah Binti Ismail Binti Saribu.
Alfatihah. Insya Allah husnul khatimah.