Pelantikan pejabat eselon 2 dan 3 lingkup Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah pada 28 April 2022 lalu meninggalkan kegaduhan. Tengara jual beli jabatan jadi soalnya.
Padahal, pengisian dalam kotak jabatan di organisasi perangkat daerah, OPD telah diatur dalam satu mekanisme baku dan harus dipedomani. Mekanisme itu adalah diusulkan kepala OPD ke kepala daerah sebanyak 3 orang untuk selanjutnya di bahas di Baperjakat, Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan.
Demikian disampaikan Dr. Hasanuddin Atjo, mantan birokrat senior Sulteng yang pernah konsultan FAO untuk Kambodia pada 2017-2018.
Seperti diketahui, Baperjakat diketuai oleh Sekretaris Daerah yang dibantu oleh Assisten, Inspektorat Daerah, BKD, Badan Kepegawaian Daerah serta biro terkait yang di SK kan oleh Kepala Daerah. Dan hasil rapat Baperjakat dikonsultasikan ke Kepala Daerah untuk diputuskan dalam sebuah surat keputusan.
Baperjakat, sebut mantan Kepala Bappeda Sulteng ini, didalam memutuskan mengisi kotak jabatan itu atas adanya usulan kepala OPD, lalu melihat Daftar Urutan Kepangkatan, serta Potensi Akademik termasuk daftar kinerja, sertifikat pendidikan penjenjangan dan sertifikat lainnya.
Menurut dia, bahwa perubahan sistem Pilkada dari mekanisme tidak langsung (melalui DPR) ke mekanisme langsung (melalui rakyat) telah banyak membawa perubahan yang meninggalkan mekanisme baku yang kurang memperhatikan usulan, DUK dan potensi akademik secara utuh.
“Bahkan pada sejumlah kasus yang ada, kadangkala pangkat eselon empat lebih tinggi dari eselon tiga,” sebutnya.
Ia juga melihat ada pejabat eselon tidak mahir menggunakan peralatan modern seperti komputer untuk menunjang kinerjanya dan sangat bergantung kepada staf bahkan kebih parah lagi kepada tenaga kontrak.
“Kalau sudah begini bagaimana bisa berharap kenerja yang lebih baik,” pikirnya.
Menurut mantan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng ini, tak bisa dipungkiri, bahwa perubahan sistem Pilkada dari tidak langsung ke langsung membawa resiko terhadap cost politik yang tinggi, mulai membeli “perahu”, rekruitmen timses hingga biaya operasional dan biaya saksi. Dan dari sinilah asal mula untuk mengisi kotak jabatan tidak lagi bisa utuh menggunakan cara cara baku.
Terindikasi bahwa tidak sedikit ASN yang terlibat dalam proses kampanye mendukung kandidat tertentu secara terang terangan. Padahal ketentuannya tidak diperkenankan. Dan biasanya ASN seperti ini yang “lompat jendela” dan mempengaruhi proses rekruitmen.
Dalam penelurusan jafarbuaisme.com, ditemukan ada ASN dari daerah Kabupaten yang pindah ke Dinas Provinsi sebulan kemudian langsung dilantik menjadi pejabat. Adapula pejabat yang sudah dinonjobkan dan diturunkan pangkatnya karena mangkir kerja, tiba-tiba bisa ikut lelang jabatan. Lalu ia pun diangkat menjadi pejabat di Dinas.
Berkaitan dengan memerangi isu kasus jual beli jabatan di sejumlah tempat, Atjo berpendapat bahwa setidaknya ada beberapa upaya yang harus dilakukan agar bisa kembali kepada mekanisme baku pengisian kotak jabatan.
Pertama, yaitu harus dibangun maupun disepakati komitmen yang kuat antara pemilik hak usung dan pemilik hak suara serta kandidat kepala daerah untuk memiliki visi sama membesarkan daerahnya.
Dan sejumlah kasus menunjukkan bahwa upaya ini masih sulit untuk dilaksanakan antara lain demokrasi bisa berlangsung baik jika PDRB Per kapita minimal $US 6.000,- sementara itu PDRB masyarakat Indonesia di tahun 2021 mendekati $US 4.000,-. Apalagi di wilayah timur?
Karena itu program meningkatkan pendapatan masyarakat menjadi sangat strategis. Dan ini tentunya berkaitan dengan kualitas pejabat eselon yang direkrut. Salah rekrut dapat dipastikan tidak bisa berharap banyak bagi sebuah perubahan. Dan ini yang harus menjadi perhatian utama.
Reformasi birokrasi dinilai tidak berjalan semestinya. Bahkan reward terhadap ASN dengan pemberian remunerasi berupa tunjangan kinerja, tukin dinilai tidak berdampak terhadap peningkatan kinerja. Bahkan terindikasi tukin sangat terbatas peruntukannya untuk meningkatkan skill maupun knowledgenya. Dan lebih kepada hal yang sifatnya konsumtif.
Penegakan disiplin seperti pemotongan tukin karena tidak maksimal melaksanakan tugas dinilai kurang berhasil. Dan terkesan ada “persekongkolan” untuk melawan kebijakan pemotongan itu.
Kedua, maksimalkan peran OPD mulai proses perencanaan hingga implementasi. Peran pendamping yang direkrut kepala daerah tentunya diperlukan, guna memperkuat percepatan penyelenggaraan pemerintahan.
Namun lingkup kerja pendamping harus dengan batas yang jelas sesuai aturan dan ketentuan yang ada agar tatakelola oleh OPD mampu dilaksanakan sesuai harapan. Jangan sampai OPD ogah olahan melaksanakan tupoksinya.
Ketiga, record atau catatan terkait potensi akademik setiap ASN harus mulai dibenahi agar dalam proses Baperjakat mengisi kotak jabatan telah memiliki landasan yang kuat melahirkan pejabat eselon yang profesional sesuai dengan harapan reformasi birokrasi.
Assesment tahunan bagi ASN jadi penting. Itu harus dilakukan secara konsisten agar bisa berkelanjutan meskipun membawa konsekwensi biaya yang tidak sedikit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persoalan mendasar tatakelola penyelenggaraan pemerintah salah satunya ada di SDM.
Alumni Institut Pertanian Bogor ini mengatakan bahwa semua ini sifatnya gagasan jangka panjang dan kembali berpulang kepada bagaimana proses lahirnya seorang kepala daerah dalam proses Pilkada. ***
Discussion about this post