Bila Anda tak tahu di mana Lipulalongo? Lalu tak kenal pula siapa Mardiah? Maka saya akan menghantarkan kisahnya buat Anda sekalian. Saya mengenalnya di atas ombak ganas yang menghantam kapal motor yang saya tumpangi.
Sehari sebelumnya, saya masih di Palu, Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Lalu menumpang pesawat terbang menuju Kota Luwuk, Banggai. Malam harinya menumpang kapal penumpang besar menuju Banggai, Ibukota Banggai Laut. Tiba di Banggai saat pagi datang menjelang. Dari pelabuhanl rakyat, saya kemudian menumpang kapal motor kecil menuju Pulau Labobo di Banggai Laut.
Kisah yang akan saya hantarkan pada Anda sekalian dimulai di sini. Mestinya tak berapa lama saya harusnya sudah sampai di pelabuhan rakyat di Desa Lipulalongo, di Labobo. Sayangnya, ombak besar menggunung memperlambat laju kapal motor. Awal Agustus 2018 itu memang waktu tak tepat buat berlayar jauh.
Sejak naik ke kapal motor kecil itu, saya sudah melihat perempuan separuh baya itu dengan sejumlah anak muda juga bergegas. Saya pun berkenalan dengan mereka. Perempuan paruh baya itu namanya Mardiah. Lalu anak-anak muda bersamanya mengenalkan diri berasal dari kelompok minat baca Babasal Mombasa. Mombasa itu adalah translasi dari membaca dalam Bahasa Saluan, bahasa Ibu orang Banggai.
Dari merekalah saya tahu, bila Mardiah adalah ibu dari Erni Aladjai, novelis alumnus Jurusan Sastra Perancis, Fakultas Sastra, Univesitas Hasanuddin, Makassar. Dialah yang mengundang saya ke Lipulalongo. Bila Erni kini telah menetap di Depok, Jawa Barat, ibunya lebih betah di Lipulalongo.
Erni mengundang saya sebab ia bersama pemuda-pemudi di tanah kelahirannya, menggagas apa yang mereka namakan Kampung Literasi. Sebuah pantai berpasir putih mereka sulap menjadi perpustakaan lapangan.
Kali lain saja soal ini akan saya ceritakan. Kisah yang saya hantarkan ini adalah tentang Mardiah, yang sekarang usianya sudah 59 tahun. Perempuan kampung yang mengaku tak berpendidikan tinggi ini merintis cara mengenalkan buku pada anak-anak pulau. Dirintisnya Bois Pustaka, perpustakaan kecil di ruang tamu rumahnya. Bois itu adalah keranjang dari anyaman bambu atau rotan yang dipakai membawa bekal ke kebun, kemudian sepulang dari kebun biasanya dipakai membawa hasil bumi. Bois Pustaka jadinya bermakna keranjang buku.
“Saya tidak ingin anak-anak seperti kami dulu. Tidak ada buku. Yang kami tahu belajar saja. Pelajarannya dari guru langsung. Bukunya batu tulis. Penanya kapur hitam atau putih,” kisah dia.
Mardiah disokong anaknya, Erni Adjalai, membangun Bois Pustaka sejak 2016. Jelang petang hari dengan membawa bois atau gerobak kayu berisi, Mardiah menemui anak-anak. Di pesisir pantai atau di bawah rerimbunan pohon pun jadi tempatnya menggelar buku. Dan anak-anak pun berebutan membaca.
Saya ada di antara mereka pada beberapa petang di Agustus 2018 yang basah itu. Saya menyaksikan semangat mereka melahap semua buku bacaan. Lalu melihat air wajah Mardiah yang merona gembira. Saya merasa, perempuan kampung itu lebih cakap dari guru-guru sekolah negeri dan swasta. Pengajarannya sampai ke akal anak-anak itu. Saban petang mereka menanti kehadiran Mardiah dengan Bois berisi buku.
Yang menarik, sebelum anak-anaknya membaca ia akan menyanyikan satu dua buah lagu rakyat. Syairnya menarik. Tentang cinta kasih muda-mudi atau soal lain. Kerap pula ia berpantun. Salah satu lagu yang kerap dinyanyikannya adalah ‘Lendeke Konda Duangan’. Liriknya saya tuliskan untuk Anda, pembaca budiman;
Lendeke konda duangan
Suano nda bose kene
Mau kai mbobul mankansang
Nda tangga lau
Bai lua kita
Nda ampakon nai nda banoa
Nda montinggal mo tando lelo
Nda aliling kio konda lolong
Nda mule kimo nda tinarima
Tobikon ku pailu konggom
Nai mo mu tinggalaku
Komu bujuk kiano yakin
Tobikon kujadi bunia
Ini translasinya;
Doronglah Perahu Kita
Agar bisa mendayung bersama
Bahkan bila angin badai kan menenggelamkan
Saat kita berlayar bersama
Janganlah cepat patah hati
Tinggalkan saja air mata di daratan
Bila suatu waktu kita kembali
Lalu kita tak diterima
Jangan saling meninggalkan
Sebab ini keinginan bersama
Nah, Bila suatu waktu Anda sempat berkunjung ke Lipulalongo, temuilah perempuan ini. Titip salam hormat saya padanya. ***