Dingin udara pagi masih cukup menggigit tulang. Di atas dermaga tua Kota Parigi angin terasa menusuk. Dan, dermaga tua itu masih seperti dulu. Kokoh berdiri. Dari sinilah cerita tentang Kota Parigi dimulai, sambil menikmati ayunan lembut sampan nelayan yang dibuai ombak laut pagi.
Di masa kanak-kanak, saban waktu saya mencandai hari di sini. Sejak zaman kolonial Belanda, dermaga di Kesyahbandaran Parigi ini ramai dengan hilir mudik kapal penumpang dan kapal barang. Sama terkenalnya dengan Pelabuhan Donggala, sebelum Pelabuhan Pantoloan dibangun.
Di dermaga ini, saban pagi juga petang hari ramai anak-anak, remaja dan orang tua berjalan-jalan. Menyesap udara pagi yang menyejukkan dada. Ada pula yang datang mengail suntung dan ikan. Laut Parigi memang menyimpan kekayaan berlimpah.
“Di Jakarta, tentu tidak mungkin kita dapat lagi menikmati udara pagi sesejuk ini. Hmm, segarnya,” aku Puang Madonna, kawan saya yang suatu ketika pernah singgah di Dermaga ini.
Ya, dermaga ini menyimpan banyak cerita kejayaan Kota Parigi. Kota yang pernah menjadi salah satu wilayah kekuasan Vereenidge Oost Indische Company (VOC), maskapai perdagangan Kerajaan Belanda yang tersohor itu.
Sebelum menjadi Ibukota Kabupaten Parigi Moutong, kota ini adalah salah satu Kecamatan dari Kabupaten Donggala. Pada 2002, kota yang dikenal dulunya sebagai 0nderafdeling Parigi ini kemudian menjadi ibukota Kabupaten Parigi Moutong. Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Donggala ini ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2002.
Dermaga yang punya banyak kisah kejayaan masa lalu itu dulunya terbuat dari kayu ulin, jenis kayu keras dari Kalimantan. Sekarang sudah dibuat dari tembok yang kokoh.
Kota ini memang terus berbenah. Kota ini pun makin cerah, secerah wajah orang ramai, tua dan muda yang saban waktu melewatkan pagi menonton mentari yang merayap pelan di sisi langit timur. ***