https://youtu.be/DUTMjWHDBF0

Dunia politik Sulawesi Tengah sedang hingar-bingar. Pada 9 Desember 2020 mendatang adalah puncaknya. Itu tempo bagi rakyat Bumi Tadulako ini memilih Gubernur dan Wakil Gubernur yang baru.

Dari empat pasang bakal calon gubernur dan calon wakil gubernur Sulawesi Tengah, Mohammad Hidayat Lamakarate dan Bartholemeus Tandigala seperti magnet bagi khalayak umum. Tentu ada pro kontra. Hal biasa dalam dunia politik. Kedua sosok ini terbilang unik. Dua-duanya adalah birokrat. Separuh usia mereka dihabiskan dari kantor ke kantor pemerintahan.

Olehnya ada yang bilang keduanya tak layak memimpin Sulawesi Tengah. Tapi benarkah? Mari mengulik profil keduanya. Sebab Mohammad Hidayat Lamakarate adalah Calon Gubernurnya, kita akan memulai dari sosoknya.

Dimulai dari keluarga. Pohon keluarga Hidayat Lamakarate tergolong unik. Memiliki keluarga besar di Sigi dan Lembah Palu pada umumnya dari garis ayah Baso Lamakarate. Lalu memiliki rumpun keluarga besar Tandjumbulu di Ampana, Tojo Unauna dan sekitarnya. Bahkan memiliki kekerabatan kuat dengan sejumlah pemukim asli di Parigi melalui garis perkawinan keluarga orang tuanya.

Dengan kekerabatan macam itu, maka peluang kemenangannya di wilayah-wilayah tersebut bisa ditakar. Popularitasnya di wilayah Banggai bersaudara juga harus diperhitungkan. Penugasannya di Banggai Laut menjadi deposit menguntungkan. Kemenangan istrinya Winiar Lamakarate sebagai anggota DPRD Sulteng dari wilayah itu banyak ditentukan oleh sosoknya.

Lahir di Palu, 8 Oktober 1970, Hidayat menjalani pendidikan SD hingga SMA di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Alumni SMA Negeri 2 Palu ini lalu melanjutkan sekolah di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri, Makassar, Sulawesi Selatan. Kemudian melanjutkan ke Jurusan Politik, Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta. Magister Sosiologinya didapat dari Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat. Gelar Doktor dalam Ilmu Sosial Bidang Kajian Utama Administrasi Publik diraihnya dari Universitas Tadulako.

Sebagai birokrat, karirnya termasuk cemerlang. Pada 2003-2006, ia menjadi Camat Palu Timur. Lalu menjadi Kepala Bagian Kepegawaian Kota Palu pada 2006-2007. Pada 2007-2009, ia dipercaya menjadi Kepala Bidang Pengembangan Karir Badan Kepegawaian Daerah Kota Palu. Pada 2009-2010, ia menjadi Sekretaris DPRD Kota Palu. Ia juga pernah menjadi Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Palu pada 2010-2012.

Pada 2012, ia dipanggil Gubernur Sulteng Longki Djanggola menjadi Kepala BKD Provinsi Sulteng. Lalu dengan pertimbangan kecakapan dan kemampuannya, pada 22 April 2013, ia ditunjuk menjasi Penjabat Bupati Banggai Laut, daerah otonomi baru pecahan dari Banggai Kepulauan.

Saat Kota Palu menghelat Pemilihan umum kepala daerah pada 2015, ia ditunjuk menjadi Penjabat Walikota. Puncaknya pada 11 Agustus 2017, ia dilantik sebagai Sekdaprov Sulteng.

Sebagai Sekretaris Daerah, ia adalah Panglima Aparatur Sipil Negara di daerah. Kehadirannya mewarnai Pemerintahan Gubernur Longki Djanggola saat masih ‘single fighter’ sepeninggal mendiang Soedarto hingga kini. Kecakapannya dalam penyelenggaran dan pengelolaan administrasi serta manajemen birokrasi sudah teruji.

Itu kelebihan-kelebihan yang tak dipunyai bakal calon lain. Jejak karir dan penugasannya bisa menjadi alat ukur kemampuannya. Menurut saya, bekalnya lebih dari cukup untuk memimpin daerah ini.

Bagaimana pula dengan Barholomeus Tandigala, calon wakil gubernurnya? Tak banyak yang tahu, Bartho, begitu ia disapa adalah lulusan salah satu universitas terkemuka di dunia. Sarjana sastra duanya diperoleh dari The University of Lyon atau Université de Lyon, Paris, Perancis pada 1997. Ia ahli transportasi.

Yang menarik, ia punya dua gelar kesarjanaan. Pada 1986, ia lulus dari Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin, Makassar. Lalu dia kuliah lagi di jurusan Hukum Perdata di Fakultas Hukum, Universitas Tadulako. Bartho lulus pada 2012. Sementara, doktor administrasi publik diraihnya dari Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat.

Birokrat kelahiran, Rantepao, 16 Juli 1961 ini, punya segudang pengalaman pula. Pada Januari 2002 hingga September 2009, ia diangkat menjadi Kepala Dina PU, Energi dan Sumber Daya Mineral Kota Palu. Dia kemudian diserahi tanggung jawab menjadi Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Kota Palu dari September 2009 – Maret 2010.

Pada Maret 2010 – September 2010, lelaki bersuku Toraja ini ditarik ke jajaran Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah menjadi Kepala Badan Penanaman Modal. Belum berapa lama, ia diserahi lagi tanggung jawab sebagai Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sulawesi Tengah sejak September 2010 hingga Desember 2011. Lalu pada 2012 – saat ini menjadi Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sulawesi Tengah. Di tengah-tengah waktu itu, ia diberi amanat menjadi Penjabat Bupati Morowali pada Mei hingga September 2018.

Melihat jenjang kedinasan dan basis keilmuannya, khalayak tak bisa meragukan kecakapannya mendampingi Hidayat Lamakarate. Bekalnya pun lebih dari cukup untuk menjadi pimpinan daerah. Kualifikasi personalnya memadai.

Pendampingnya, Dr. Elimawaty Rombe adalah dosen di Fakultas Ekonomi, Universitas Tadulako. Itulah yang juga mendorong dia selama ini tak lelah menimba ilmu untuk kebutuhan peningkatan kecakapan personalnya memimpin dinas pemerintahan.

Jadi, tak tepat rasanya meragukan kemampuan sosok yang selalu terkesan santai tapi serius dalam rutinitas kerjanya ini.

Nah, sudah tahu kan siapa Bartho? Yang menarik pula adalah latar belakang komunitas Hidayat dan Bartho. Jika Hidayat lahir dan besar di Lembah Palu, maka Bartho lahir dan besar di Toraja. Pasangan Hidayat – Bartho adalah simbol Kebhinekaan kita. Mewakili pula komunitas agama-agama besar di Indonesia. Hidayat seorang Muslim dan Bartho adalah pemeluk Kristen Protestan.

Menurut Anda, apakah pasangan Mohammad Hidayat Lamakarate dan Bartholemeus Tandigala memang layak dipilih memimpin Sulawesi Tengah pada lima tahun mendatang pasca Gubernur Longki Djanggola?! Bagaimana?