“Revolusi adalah bara yang paling sulit dijaga: ia bisa mati oleh ketakutan, atau padam oleh kenyataan.”

Miranti berdiri di tengah jalan tanah merah yang berdebu. Di belakangnya, ratusan orang bergerak, membawa spanduk, suara mereka mengisi udara, menuntut sesuatu yang terdengar seperti utopia. Hentikan tambang, selamatkan tanah, lindungi laut.

Ia tahu ini gila. Tapi bukankah perlawanan selalu dimulai dengan kegilaan?

Di barisan depan, ada Lodi. Matanya penuh amarah. Ada , dengan tatapan yang selalu teduh meski dunia di sekelilingnya terbakar. Ada ibu-ibu dari kampung, wajah mereka letih tapi tak gentar.

Lalu ada laut, tempat mereka biasa mencari ikan, yang kini berbusa oleh limbah. Dan ada bukit-bukit hijau yang mulai bopeng, tanahnya dikuliti demi nikel yang entah dikirim ke mana.

“Jangan mundur!” suara Miranti menggema. “Jangan biarkan mereka mencuri tanah kita!”

Lodi menoleh padanya, mengangguk. “Kita tak akan mundur.”

Tapi ia tahu, sejarah selalu menulis cerita lain untuk orang-orang seperti mereka.


Bagian 1

Miranti tak pernah ingin menjadi pemimpin.

Ia hanya ingin hidup tenang di kampungnya, di pesisir Sulawesi yang jauh dari segalanya. Ia ingin menulis, bekerja di sekolah kecil tempatnya mengajar anak-anak membaca, dan sesekali duduk di dermaga, menikmati angin laut.

Tapi hidup bukan sesuatu yang bisa dikendalikan.

Ia mulai marah saat melihat sungai yang dulu jernih berubah merah. Ia mulai bertanya saat tanah tempat orang-orang menanam padi retak dan kering. Ia mulai berteriak saat Lodi menunjukkan foto kapal-kapal tongkang, mengangkut nikel ke luar negeri, sementara orang-orang makin miskin.

“Ini harus dihentikan,” katanya.

“Kau mau melawan korporasi?” Yusran bertanya, mengangkat alis. “Kau pikir ini novel revolusi?”

“Bukan soal menang atau kalah.” Malahayati menarik napas. “Ini soal berdiri di sisi yang benar.”

Yusran tertawa kecil. “Aku harap idealismemu tidak akan menghancurkanmu sendiri.”

Tapi ia ikut dalam rapat malam itu. Seperti halnya Lodi, yang sejak dulu diam-diam jatuh cinta pada Miranti.

Bagian 2

Aksi pertama mereka hanya belasan orang.

Di depan kantor kecamatan, mereka berteriak sampai tenggorokan kering.

Tapi mereka tak berhenti. Minggu demi minggu, jumlah mereka bertambah. Ada petani, nelayan, mahasiswa dari kota. Media mulai menulis tentang mereka.

Miranti muncul dalam wawancara.

“Kami tak menolak pembangunan,” katanya. “Kami menolak kehancuran.”

Saat itulah, seseorang dari perusahaan menelponnya.

“Kita bisa bicara baik-baik,” suara itu terdengar ramah, laki-laki, berat, dan dingin seperti baja.

Miranti mengabaikannya.

Tapi malam itu, di rumah, ibunya menangis.

“Apa yang kau lakukan?” suara ibunya lirih. “Mereka punya uang. Mereka punya kuasa.”

Ia tak menjawab.

Karena bagaimana mungkin ia bisa mengatakan bahwa ia takut?


Bagian 3

Mereka akhirnya berhadapan dengan .

Gas air mata. Pukulan pentungan. Malahayati jatuh ke tanah, matanya perih, napasnya tercekik.

Lodi menariknya berdiri, menyeretnya menjauh.

Tapi mereka tetap kalah.

Pabrik tambang tetap berdiri. Sungai tetap merah.

Dan Miranti?

Ia ditangkap.

Bagian 4

Penjara adalah ruang sempit tanpa jendela.

Di luar, hujan jatuh. Di dalam, ia berhadapan dengan seseorang yang datang tanpa undangan.

“Saya bisa membuatmu keluar,” kata lelaki itu.

Ia mengaku bernama Adrian. Wakil dari perusahaan tambang. Ia berbicara dengan nada santai, seakan mereka sedang duduk di kafe, bukan dalam ruang interogasi yang dingin.

“Kau orang pintar,” katanya. “Kenapa membuang hidupmu untuk sesuatu yang sudah diputuskan?”

Miranti hanya tertawa. “Kau pikir uang bisa membeli segalanya?”

Adrian mengangkat bahu. “Mungkin tidak. Tapi kompromi selalu lebih baik daripada mati sia-sia.”

Malahayati tak menjawab.

Karena untuk pertama kalinya, ia bertanya-tanya apakah ia sudah kalah.


Bagian 5


Ia bebas.

Tapi tidak dengan harga murah.

Suatu pagi, ia berdiri di lobi kantor tambang, mengenakan blazer yang tak pernah ia bayangkan akan dipakainya. Di dadanya, ada kartu nama: Miranti, Media and PR Manager.

Lodi tak mau bicara dengannya lagi.

“Ini pengkhianatan,” katanya dingin.

“Ini realitas,” jawab Miranti.

Mereka saling menatap. Dulu ada sesuatu di antara mereka—sesuatu yang mungkin cinta, atau sekadar perasaan berbagi mimpi.

Kini hanya ada jurang.

Bagian 6

Di ruang kerja, Miranti menulis rilis pers.

Bahwa perusahaan berkomitmen terhadap keberlanjutan. Bahwa tambang membawa kesejahteraan. Bahwa tidak ada dampak yang signifikan.

Tapi di luar jendela, sungai tetap merah.

Ia ingat kata-kata Yusran dulu: Aku harap idealismemu tidak akan menghancurkanmu sendiri.

Mungkin ia memang telah hancur.

Bagian 7

Suatu malam, ia bertemu Adrian.

“Kau menyesal?” tanyanya.

Miranti menatap gelas anggurnya.

“Menyesal,” katanya pelan, “adalah kemewahan yang tidak bisa dimiliki orang-orang yang harus terus berjalan.”

Adrian tersenyum kecil. “Selamat datang di dunia orang dewasa.”

Tapi di dalam dirinya, sesuatu tetap memberontak.

Miranti tak tahu apakah itu harapan, atau hanya kenangan akan seorang perempuan yang dulu percaya bahwa dunia bisa diubah.

Ia tak tahu mana yang lebih menyakitkan: kalah, atau berdamai dengan kekalahan.

Bagian 8

Di pagi yang sunyi, Miranti berdiri di depan cermin.  

Pakaian yang dikenakannya kini jauh berbeda dari hari-hari ketika ia memimpin demonstrasi. Blazer gelap, rok selutut, sepatu hak rendah. Rambutnya tersisir rapi, tanpa ikatan kain lusuh yang dulu selalu melilit di kepalanya.  

Hari ini, ia akan berbicara dalam sebuah seminar. Topiknya: “Pembangunan Berkelanjutan dan Peran Industri dalam Kesejahteraan Masyarakat.”  

Miranti tertawa kecil. Ironis.  

Di layar ponsel, ada pesan dari ibunya:  

“Semoga harimu lancar, Nak.”

Ibunya akhirnya berhenti menangis. Mungkin karena sekarang ia sudah tidak dianggap sebagai pemberontak, tidak lagi berurusan dengan polisi, tidak lagi pulang dengan luka-luka di tubuhnya.  

Tapi entah kenapa, setiap kali ibunya tersenyum, ada rasa sesak di dadanya.

Bagian 9

Di seminar itu, ia berbicara dengan penuh percaya diri.  

“Perusahaan kami berkomitmen untuk menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan. Kami bekerja sama dengan masyarakat lokal untuk menciptakan solusi yang menguntungkan semua pihak.”  

Ia melihat Adrian duduk di barisan depan, tersenyum tipis.  

Miranti tahu ia berbohong.  

Ia tahu sungai masih merah. Ia tahu tanah masih bopeng. Ia tahu para nelayan masih kehilangan ikan-ikan mereka.  

Tapi kata-kata yang ia ucapkan kini bukan lagi kata-katanya.  

Mereka telah dilatih, dipoles, dikendalikan.  

Di luar gedung, ada sekelompok mahasiswa yang melakukan aksi protes. Wajah-wajah yang dulu mengingatkannya pada dirinya sendiri.  

Seorang gadis memegang megafon, suaranya nyaring.  

“Perusahaan-perusahaan ini hanya memikirkan keuntungan! Mereka menghancurkan tanah kita, laut kita! Jangan percaya pada propaganda mereka!”  

Miranti menatap gadis itu lama.  

Ia seperti melihat bayangan dirinya di masa lalu.  

Tapi ia tak bisa melakukan apa pun selain berjalan melewati mereka, menaiki mobil yang telah disiapkan untuknya, menuju kantornya yang berpendingin ruangan.

Bagian 10

Malamnya, ia minum anggur bersama Adrian.  

“Bagaimana rasanya berbohong di depan umum?” lelaki itu bertanya.  

Miranti menyeringai, meneguk minumannya. “Mungkin seperti yang kau rasakan setiap hari.”  

Adrian tertawa. “Kau mulai memahami permainan ini.”  

Miranti diam. Ia tak ingin memahami permainan ini. Ia tak ingin terbiasa dengan kebohongan.  

Tapi semakin lama ia menjalani hidup ini, semakin ia merasa bahwa kebohongan adalah satu-satunya yang tersisa.  

Ia merindukan sesuatu yang dulu pernah ia miliki—kemarahan, semangat, keyakinan bahwa dunia bisa diubah.  

Ia rindu menjadi dirinya yang dulu.  

Tapi ia tak tahu bagaimana cara kembali.

Bagian 11

Satu bulan kemudian, Lodi datang mencarinya.  

Mereka bertemu di sebuah kafe kecil, jauh dari kantor tambang.  

Lodi masih seperti dulu. Wajahnya penuh amarah, matanya menyala seperti bara yang tak padam.  

“Apa yang kau lakukan di sini?” Miranti bertanya.  

Lodi mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Selembar kertas, foto, laporan.  

“Ini bukti bahwa perusahaanmu mencemari sungai lebih dari yang mereka akui.”  

Miranti membaca cepat. Ia tahu apa yang tertulis di sana benar.  

“Tolong bantu kami,” kata Lodi. “Gunakan posisimu untuk membocorkan ini.”  

Dulu, Miranti tak akan berpikir dua kali.  

Dulu, ia akan menyerahkan semua ini pada wartawan, berbicara di depan kamera, menuntut keadilan.  

Tapi kini, ia hanya menatap kertas itu dalam diam.  

“Kau tak bisa melakukannya, kan?” suara Lodi pelan, tapi tajam.  

Miranti mengangkat wajahnya.  

“Aku sudah tak sekuat dulu.”  

Lodi mendengus. “Bukan. Kau hanya sudah terbiasa hidup nyaman.”  

Miranti ingin menyangkal.  

Tapi ia tahu Lodi benar.

Bagian 12

Setelah Lodi pergi, Miranti menatap langit malam.  

Ia berpikir, mungkin hidup adalah tentang kalah dan menang.  

Atau mungkin, hidup adalah tentang memilih kekalahan macam apa yang bisa kita terima.  

Ia dulu memilih kalah di tangan polisi.  

Kini, ia memilih kalah di tangan kenyataan.  

Di kantornya, ada kontrak baru yang menunggunya. Gajinya akan naik. Masa depannya lebih terjamin.  

Tapi di hatinya, ada sesuatu yang telah mati.  

Dan ia tak tahu apakah itu bisa dihidupkan kembali.

Miranti

Bagian 13

Suatu malam, ia duduk di tepi laut.  

Angin berhembus pelan. Ombak berbisik.  

Di kejauhan, ada kapal-kapal tongkang membawa nikel ke luar negeri.  

Miranti menarik napas dalam-dalam.  

Ia menutup matanya.  

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia bertanya pada dirinya sendiri

Apakah ia masih bisa kembali?  

Atau apakah ia akan terus tenggelam dalam dunia yang telah ia pilih?