Pada 2007, anak muda di Poso ini barulah berusia 17 tahun. Sebut saja namanya Andika. Ia sungguh mengagumi Basri alias Bagong, salah seorang pentolan Mujahiddin Indonesia Timur. Basri sendiri kini tengah menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan.

Andika kagum pada sosok Basri yang pada 2007 itu baru berusia 32 tahun. Rambut gondrongnya, dan konon karena keberaniannya membuat lelaki muda itu kagum pada Basri. Maka jadilah dia ‘pengikut’. Di bawah Andika ada sepasukan anak-anak yang jadi mata dan telinga kelompok Mujahiddin di Tegalrejo, Kayamanya dan Bonesompe. Julukan mereka ‘anak bebek’. Tak ada yang bisa menjelaskan mengapa namanya begitu. Bisa saja karena mereka memang ‘membebek’ pada mujahiddin senior.

Pada 2001 – 2007, kelompok-kelompok mujahiddin di tiga kawasan dalam Kota Poso itu memang tersohor. Mereka menuakan Ustadz Muhammad Adnan Arsal. Ustadz yang mantan Kepala Kantor Departemen Agama Poso ini memang mengakui mengenal para tersangka para mujahiddin itu secara pribadi.

“Karena saya yang mendidik mereka pengetahuan agama.Tapi saya tidak mengajarkan mereka tentang kekerasan dan sebagainya,” demikian Ustadz Adnan pada beberapa kesempatan bertemu dengan saya.

Bahkan pasca peristiwa 11 dan 22 Januari 2007, ia disebut-sebut tetap menjalin kontak dengan para mujahiddin, meski ketika itu tidak kurang 29 ‘anak asuh’ telah dilabeli identitas baru; teroris.

Ustadz Adnan bersikukuh bahwa mereka itu perlu dibina dan diberi pemahaman, karena perlawanan mereka berlatar ketidakadilan Pemerintah dalam menyelesaikan bengkalai kasus Poso. Namun, suaranya diabaikan. Operasi demi operasi polisional dilancarkan untuk memburu mereka. Ada yang tewas ditembak, ada pula yang ditangkap hidup-hidup. Lalu, lingkaran dendam pun terus membesar.

Belakangan, setelah ‘anak-anak asuhnya’ membentuk Kelompok Mujahiddin Indonesia Timur dan bergerilya, Ustadz Adnan memilih ‘jalan tengah’. Ia meminta mereka menyerah dengan baik-baik tinimbang melakukan aksi-aksi teror. Sayangnya, permintaannya diabaikan.

Lalu di mana ‘anak bebek’? Mereka tetap ada. Tapi sebutan itu tak lagi populer. Sekarang mereka disebut simpatisan. Ada yang aktif dan ada yang diam. Simpatisan mereka tak cuma di Kota Poso atau di wilayah Sulawesi Tengah tapi juga dari Jawa, Philipina, Afghanistan hingga Suriah. Bila dalam wilayah Poso sebatas memberikan informasi dan kurir, simpatisan dari luar daerah memasok fulus dan senjata serta bahan-bahan bom.

Kepala Kepolisian Daerah Sulteng, Inspektur Jenderal Polisi Rudy Sufahriadi adalah salah seorang Polisi yang paham benar soal ini. Semasa ‘anak bebek’ bertumbuh, ia menjadi Kepala Kepolisian Resor Poso dengan pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi. Kemudian ia menjadi Kapolda Sulteng dengan pangkat Brigadir Jenderal Polisi.

Rudy hadir dalam sejumlah aksi demi aksi yang dinamai Polisi sebagai operasi pemulihan keamanan dan ketertiban serta penegakan hukum di Poso. Mulai dari Operasi Sintuwu Maroso, Camar Maleo, Tinombala hingga Madago Raya, Perwira Tinggi kelahiran Cimahi, 23 Agustus 1965 ini terlibat aktif. Ia paham rangkaian demi rangkaian amuk sosial di Poso, lahirnya ‘anak bebek’ hingga tumbuh suburnya terorisme di wilayah itu.

Soal ‘anak bebek’ yang sekarang berubah ujud menjadi simpatisan baik aktif maupun diam, memang menjadi masalah sendiri.

Brigadir Jenderal TNI Farid Makruf, MA, mantan Komandan Korem 132/Tadulako saat berduet dengan Irjen Pol Purn Abdul Rakhman Baso memimpin Operasi Madago Raya selalu mengingatkan soal itu.

“Itu memang menjadi masalah. Bila mau operasi ini selesai, hentikan menjadi simpatisan mereka. Hentikan memberikan dukungan informasi dan logistik lainnya kepada mereka, pasti mereka akan kewalahan dan terpojok,” kata perwira Kopassus yang kini menjadi Direktur Pendidikan dan Latihan Pusat Teritorial Angkatan Darat itu.

Adapun Rudy memang punya ‘garis tangan baik’ dalam operasi demi operasi itu. Saat ia menjadi Kapolda Sulteng pada 2016, Santoso alias Abu Wardah tertembak. Santoso tertembak pada 18 Juli 2016. Saat ia kembali lagi pada 2021, Ali Kalora dan Qatar pun ‘selesai’. Dari lebih 40 petempur MIT yang diburu Polisi, termasuk di antaranya enam orang warna negara asing dari Uighur, Republik Rakyat Tiongkok, kini tinggal tiga orang. Pada Selasa, 4 Januari 2022 kemarin Tim Sogili 3 Detasemen Khusus 88 mengakhiri pelarian Ahmad Gazali alias Ahmad Panjang. Praktis MIT tak punya kekuatan apa-apa lagi dari sisi personel dan juga persenjataan.

MIT ‘Has Fallen’. Ini meminjam judul film aksi Olympus Has Fallen yang menggambarkan saat Gedung Putih jatuh dalam kekuasaan teroris Korea Utara, lalu mereka menyandera Presiden Amerika. Namun, adakah urusan terorisme ini selesai? Belum tentu. Siklus dendam yang diciptakan dari operasi ke operasi terus membesar. Ia bisa jadi kian membesar.

Suatu waktu, saya mengunjungi rumah mendiang Suwarni, istri dari Santoso alias Abu Wardah ketika jenazah suaminya akan segera dibawa dari Palu ke Landangan, Poso untuk dikebumikan. Sambutannya ramah seperti biasanya. Tapi dari dalam tiba-tiba terdengar suara keras mengusir kami. Itu adalah suara dari Wardah, anak perempuan Santoso. Belakangan ia menikah dengan Khairul alias Irul alias Aslam, anggota MIT yang tewas ditembak pada 1 Maret 2021 di Tambarana, Poso Pesisir.

Seperti itulah lingkaran dendam terpelihara. Ia bisa jadi tak berkesudahan. Wardah menganggap kami bagian dari Thagut, sesembahan selain Allah SWT, tuhan yang diyakini orang Islam. Itulah sebabnya ia tak mengizinkan kami menginjak rumahnya. Ini barulah satu contoh dari sekian banyak handai taulan, anak, istri dan keluarga batih lainnya. Bila tak jadi perhatian, bukan tak mungkin ‘anak bebek’ dalam versi lainnya akan bertumbuh.

Ada strategi yang harus dipikirkan lagi setelah operasi penegakan hukum ini selesai. Ini tak boleh hanya berhenti saat operasi sudah selesai. Terorisme, pertikaian antarorang per orang, antarkelompok hingga komunal setua usia peradaban. Ia hidup sepanjang usia bumi.

Pembinaan teritorial seperti yang dilakukan Tentara Nasional Indonesia, dan penggiatan Polmas atau pemolisian masyarakat (Community Policing) yang ‘pernah’ popular di Kepolisian haruslah menjadi jawabannya. Cegah tangkal paham radikalisme yang berujud kemudian menjadi terorisme penting dilakukan. Ditambah pula dengan dukungan Pemerintah Daerah. Tentu Polisi, Tentara dan Pemerintah sudah punya strateginya. Masyarakat pasti mendukungnya. ***