Oleh: *

Setiap masa punya moment of truth. Setiap zaman punya patahan momentum yang mengubah masyarakat. Kerap terjadi secara dramatik dan mengejutkan. Francis Fukuyama menyebutnya sebagai ‘a great disruption' atau keterpatahan yang besar.

di Kota Palu, yaitu gempa, tsunami dan likuefaksi, rasanya bisa menjadi lebih cepat dan tragis perubahannya dibanding perubahan evolusioner karena invasi teknologi informasi.

Bukankah kita tahu, rentetan perubahan zaman, dimulai saat manusia bertransformasi dari makhluk pemburu ke pertanian. Dari pertanian ke industri. Dari industri ke informasi. Ini memakan waktu yang panjang dan gradual.

Pertanyaan kritisnya adalah bagaimana memandang setelah momentum triple bencana ini terjadi? Apa yang berubah dari kita setelah ‘hari ini' dibanding ‘hari kemarin'?

Ini jauh lebih penting ketimbang membenamkan diri dalam laku saling menyalahkan dan mencari kambing hitam atas semua kejadian yang menimpa kita. Toh kita semua, warga Kota Palu adalah korban.

Marilah kita memandang, kejadian triple bencana ini sebagai suatu ‘moment of truth', sebab melalui kejadian ini mulai terlihat nyata dan terungkap berbagai kelemahan yang tersembunyi. Semua hal yang tersembunyi dalam pandangan publik justru terbuka secara jelas. Jika belajar dari momentum awal saat bencana, terlihat sekali kalau kita gugup, miscoordinasi dan terperangah. Kita kehilangan beberapa hari untuk dapat merespon situasi di masa awal bencana. Tapi bisa dimaklumi, sebab seluruh perangkat pendukung seperti listrik, komunikasi, petrolium, jaringan aparatur semua lumpuh saat itu.

Tapi menurut saya, ini hal yang wajar. Jika kita berkaca, bangsa sebesar Amerika dan Jepang juga mengalami keterperangahan dan keterkejutan parah dalam merespon momentum ketika terjadi peristiwa 11 september 2001 atau peristiwa pengeboman bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.

Pertanyaan penting saat ini adalah apakah Kota Palu bisa merespon secara lebih baik dan terencana memanfaatkan momentum ini untuk bangkit lebih baik? Ini bisa dilihat dalam beberapa hari mendatang.

Saat ini, konsentrasi media massa dan media sosial masih tertuju pada cara penanganan kita terhadap bencana yang terjadi. Namun setelah ini, semuanya mulai bekerja normal kembali.

Bila semua rencana yang disusun pasca bencana mulai teraplikasi, maka semua akan ketahuan. Apakah kita punya perhatian serius membenahi pembangunan kota ini, menjadi Kota Palu yang baru, seolah baru dilahirkan dari seorang ibu atau memang kita cuma punya kebiasaan purba untuk terampil saling menyalahkan satu dengan yang lain?! Kemudian kita kembali menunggu momentum lain untuk membuat kita kembali tersadarkan lagi. wallahu alam. ***

*Sekretaris Bappeda Kota Palu