Namanya singkat saja. Muhammad. Usianya 42 tahun. Lelaki beranak empat ini sejak 2018 bergelut dengan Maleo. Satwa langka bernama Latin Macrocephalon Maleo itu kini memang butuh perhatian lebih. Populasinya kian menyusut. Pelbagai upaya pelestariannya sudah dilakukan. Termasuk yang dilakukan Muhammad.
Pada 2019, EPASS – Enhancing the protected area system in Sulawesi for Biodiversity Conservation mendukung kegiatan Muhammad itu. Peningkatan Sistem Kawasan Lindung di Sulawesi untuk Konservasi Keanekaragaman Hayati ini adalah proyek bantuan internasional yang dirancang untuk mendukung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, khususnya dalam pengelolaan konservasi di Sulawesi.
Proyek ini dimulai pada 2015. EPASS memperoleh dukungan hibah dari GEF (Global Environment Society) Amerika Serikat. Di Sulawesi Tengah, program ini berlokasi di wilayah Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu.
Seperti diketahui Taman Nasional Lore Lindu mencakup wilayah Kabupaten Sigi dan Poso. Taman Nasional ini tercatat seluas kurang lebih 215 ribu hektare. Dan Maleo adalah salah satu kekayaan keanekaragaman hayati di Cagar Biosfer Dunia yang ditetapkan sejak 1977 itu.
Didukung EPASS, Muhammad berhimpun di Lembaga Pengelola Konservasi Desa Singgani, Pakuli Utara, Kecamatan Gumbasa, Sigi, Sulawesi Tengah.
Saban hari, lelaki tamatan Sekolah Dasar ini harus berburu waktu dengan pemangsa telur Maleo, seperti soa-soa, elang dan ular. Bila berhasil mendapatkan telur burung seberat 240 – 270 gram itu, ia membawanya ke kandang penetasan untuk dierami. Ia tak ubahnya seperti ‘Bapak Asuh Maleo’.
“Sejauh ini, saya baru berhasil menetaskan dan memelihara delapan ekor burung Maleo yang kemudian dilepasliarkan ke alam. Kemarin saya berhasil mendapatkan sepuluh butir telur, cuma dua yang gagal ditetaskan,” kisah dia pada saya saat bertemu di tepi Sungai Gumbasa, pada siang yang terik, Rabu, 19 Agustus 2020.
Ia wajar berbangga hati, sebab upayanya membuahkan hasil. Ia harus mengalahkan kecepatan hewan pemangsa untuk bisa mendapatkan telur burung langka ini.
Ia tahu membedakan mana lubang telur asli dan mana lubang kamuflase. Macrocephalon maleo termasuk satwa yang cerdas. Untuk mengakali pemangsa, setelah bertelur di dalam tanah bercampur pasir, ia kemudia menggali lubang samaran.
“Tapi berdasarkan pengalaman, saya tahu mana lubang palsu dan mana lubang telur asli,” aku dia.
Dulu, lelaki kelahiran Pakuli, 8 Agustus 1977 ini hanya berpikir mendapatkan telur burung Maleo untuk dijual dan dimakan sendiri. Saat itu, populasinya masih cukup banyak. Telurnya sudah tentu berlimpah.
Sekarang, ia kemudian berpikir melestarikan burung endemik Sulawesi ini. Ia diserahi menjaga kandang pengeraman telur dan pemeliharaan Maleo di tepian Sungai Gumbasa, Pakuli Utara.
“Ini sebab kecintaan saya pada Maleo. Dulu kami bisa menjumpai banyak Maleo. Telurnya pun banyak. Sekarang hampir tidak ada lagi. Olehnya saya mau melestarikan burung ini. Apapun saya lakukan untuk berburu telurnya di alam, lalu ditetaskan, sebelum soa-soa memangsanya,” ujar dia.
Untuk pengayaan pengetahuan kita, burung ini memiliki bulu berwarna hitam, kulit sekitar mata berwarna kuning, iris mata merah kecoklatan, kaki abu-abu, paruh jingga dan bulu sisi bawah berwarna merah-muda keputihan. Di atas kepalanya terdapat tanduk atau jambul keras berwarna hitam. Jantan dan betina serupa.
Biasanya betina berukuran lebih kecil dan berwarna lebih kelam dibanding burung jantan. Maleo adalah monogami spesies. Artinya, sampai akhir hayatnya, Maleo cuma hidup dengan satu pasangan.
Tidak semua tempat di Sulawesi di mana kita bisa menemukan maleo. Sejauh ini, ladang peneluran hanya ditemukan di daerah yang memliki sejarah geologi yang berhubungan dengan lempeng pasifik atau Australasia.
Populasinya hanya ditemukan di hutan tropis dataran rendah pulau Sulawesi seperti di Gorontalo (Bone Bolango dan Pohuwato) dan Sulawesi Tengah (Sigi, Tolitoli, Parigi Moutong dan Banggai).
Berdasarkan sejumlah informasi, populasinya di Sulawesi mengalami penurunan sebesar 90 persen sejak 1950-an. ***