Sekitar 2000, saya tengah mengikuti Kuliah Kerja Nyata di Uwemanje, Kinovaro, Sigi, Sulawesi Tengah. Saat itu, sayalah yang paling tua. Saya angkatan 1993 di Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako. Menghindar ditunjuk jadi Koordinator Kecamatan, eh, malah didaulat menjadi Koordinator Desa. Tentu saja tanpa persetujuan saya.

Nah, disinilah mulainya kisah itu. Di kelompok saya ada Erviana Lasira. Ada pula Muhammad Nur Larisa. Nur menjadi Koordinator Kecamatan. Erviana adalah anak perempuan sulung Hi. Ayuba Yusuf Lasira, dan Nur adalah keponakannya.

Maka tibalah suatu waktu, saya dipertemukan dengan orang tua kedua sahabat saya ini. Sejak menjadi jurnalis pada 1996 di Surat Kabar Mingguan Alkhairaat dan menjadi Koresponden Majalah Forum Keadilan di Palu, saya selalu mendengar namanya. Namun, ia beken dengan sapaan Om Kota. Saat bertemu kali pertama dengan Om Kota, sungguh saya bahagia. Ia adalah legenda hidup ketika itu.

Nah, mungkin karena perawakannya yang kecil, saat bertemu dirinya saya selalu teringat lagu Kla Project; Belahan Jiwa. Apalagi, saat itu, saya tengah jatuh cinta pada seorang perempuan Bugis yang seutas rambutnya berwarna bak rambut jagung.

“Kau setia menunggu lelaki kecil menantang hidup
Kau sertakan doa seolah mantra menjelma nafasku…oh…”

Begitu sepotong lirik lagu yang dinyanyikan Katon Bagaskara itu.

Meski beda ritme, saya selalu menyematkan lagu itu dalam pikiran untuk memaku kenangan kali pertama saya bertemu dengan Om Kota.

Kamis, 8 Agustus 2022 ini, Om Kota berpulang. Lelaki yang ramah ini, mengawali karir sebagai pegawai honorer di Kantor Dinas Penerangan Kabupaten Donggala pada 1969. Barulah pada 1976, ia diangkat menjadi Calon PNS di RRI Cabang Muda Palu. Golongannya: Pengatur Muda-II/A. Satu tahun kemudian, ia menjadi PNS penuh di RRI hingga pensiun pada 2006 ddengan pangkat III/C.

Ketika mengampu program Om Kota di RRI Palu sejak 1987 – 2006, ia mempopularkan diksi ‘notoga’. Itu adalah bahasa ibu Suku Kaili Ledo yang berarti ‘bersendawa’. Sirine patroli menjadi ritme khas laporan yang disiarkan setiap pukul 16.00 ini. Sirine dalam bahasa Om Kota disebutnya sebagai ‘ngiu-ngiu’.

Setelah, ‘ngiu-ngiu’ itu, ia lalu melanjutkannya dengan sapaan ‘Halo’ dalam dialek orang Palu. Sembari ditingkahi tawa khasnya; “he…he…he…”

Isi program itu beragam. Mulai dari pengumuman duka cita, pemadaman listrik, hingga agenda-agenda lain yang musti diketahui orang banyak. Pun laporan pandangan matanya sepanjang jalan. Mulai dari kecelakaan lalu lintas, sampai perkelahian antarkampung.

Gayanya yang unik saat menyampaikan itu sungguh khas. Tak bisa orang lain menirunya. Ketika ia pensiun, sempat diganti dengan orang lain. Tapi tentu saja tak mampu menyamainya. Ia kemudian dipanggil kembali ke RRI dalam format acara berbeda tapi tetap khas.

Sepanjang saya berada di Palu, ia kerap pula menjadi komentator pertandingan Sepak Bola, Master of Ceremony pada pesta-pesta perkawinan dan lainnya.

Om Kota memang istimewa. Ia adalah ‘the last and the one’. Sungguh, ia adalah jurnalis radio sepanjang masa. Kita memang kehilangan dirinya secara lahiriah. Namun, secara batiniah, ia tetap hidup. Lelaki kecil ini sudah mewariskan semangat jurnalisme radionya yang khas. Itulah yang patut digugu dan ditiru. Selamat jalan, Om Kota. ***