Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melaporkan total kasus positif virus corona Indonesia mencapai 64.958 pasien. Tercatat sampai dengan Senin, 6 Juli 2020, pasien meninggal dunia sudah 3.241 orang. Saat ini, masih ada 31.798 orang yang tengah menjalani perawatan.
Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum RI telah menetapkan tahapan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah serentak 2020 di era pandemi Virus Corona. Pilkada serentak 2020 yang sudah direncanakan sebelum tertunda sekitar 3 bulan imbas dari pandemi Virus Corona.
Tentu saja, gelaran Pilkada 2020 kali ini akan berbeda dengan Pilkada tahun-tahun sebelumnya. Salah satunya, KPU akan menerapkan protokol kesehatan Covid-19 dalam seluruh tahapan penyelenggaraan Pilkada 2020.
Dijadwalkan KPU akan menetapkan masa pemutakhiran Daftar Pemilih Sementara hingga penetapan Daftar Pemilih Tetap pada 15 Juni-6 Desember 2020.
Lalu, pada 4-6 September KPU akan resmi membuka tahapan pendaftaran bakal calon kepala daerah. Setelah itu, KPU akan melakukan rangkaian verifikasi terhadap bakal calon yang mendaftar. Nantinya, KPU akan menetapkan pasangan calon kepala daerah yang akan berlaga pada 23 September 2020.
Tahapan kampanye akan dimulai pada 26 September hingga 5 Desember atau sebanyak 71 hari. KPU membagi masa kampanye calon kepala daerah ini dengan tiga fase.
Fase pertama yakni kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, dialog, penyebaran bahan kampanye kepada umum pemasangan alat peraga dan/atau kegiatan lain.
Fase kedua, KPU akan menggelar debat publik/terbuka antarpasangan calon sebagai bagian dari kampanye calon kepala daerah. Fase pertama dan kedua masa kampanye itu akan digelar pada 26 September hingga 5 Desember 2020.
Fase ketiga, KPU akan membuka kampanye calon kepala daerah melalui media massa, cetak, dan elektronik, pada 22 November hingga 5 Desember 2020.
Masa tenang dan pembersihan alat peraga sendiri akan dilakukan pada 6-8 Desember 2019.
Pemungutan suara sekaligus penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS) dilaksanakan pada 9 Desember 2020.
Setelah itu, penghitungan suara secara berjenjang dilakukan. Runutannya, penghitungan suara di tingkat kecamatan akan digelar pada 10-14 Desember, penghitungan suara di kabupaten/kota 13-17 Desember. Penghitungan suara di tingkat provinsi untuk pemilihan gubernur berlangsung pada 16-20 Desember.
Untuk diketahui, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 sudah merinci bahwa 40 dari 261 kabupaten atau kota yang akan menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 masuk dalam zona penyebaran virus corona.
i
Selanjutnya, 99 kabupaten atau kota lainnya masuk di zona oranye, 72 di zona kuning, dan 43 berada di zona hijau penyebaran Covid-19.
Sampai di sini, tentu saja ini tak jadi soal. Ini adalah proses demokrasi yang memang sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. Yang jadi soal adalah – meski KPU sudah mengatur protokol kesehatan penyelenggaraan Pilkada – bagaimana mengawasi prosesnya.
Ini bila kita berkaca pada Pemilu 2019 yang centang perenang dan meninggalkan banyak pertanyaan lantaran diduga penuh kecurangan. Dalam proses ini KPU adalah produser, sutradara dan aktor sekaligus. Mereka adalah penentu.
Keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang memberhentikan dua komisioner KPU, Evi Novida Ginting dan Ilham Saputra terkait penggelembungan suara bukanlah perkara kecil.
Bisa jadi kasus ini adalah ‘gunung es’ dari kasus lain. Sayang, cuma dua kasus itu yang sampai ke DKPP. Sedang yang lain tak dianggap. Permintaan beberapa pihak untuk mengotopsi kematian para penyelenggara Pemilu tak digubris. Bayangkan saja Sebanyak 894 Petugas KPPS Meninggal Dunia dalam penyelenggaran Pemilu 2019 lalu. Kematian mereka menimbulkan pertanyaan yang hingga kini tak terjawab.
Proses Pilkada bisa jadi tak sekompleks Pileg dan Pilpres. Jumlah yang akan dipilih warga pun terbatas pada beberapa calon saja, namun prosesnya serupa.
Dalam situasi normal saja dengan proses pengawasan yang begitu ketat, tetap saja kecurangan demi kecurangan dapat terjadi. Nah, bagaimana dalam situasi pandemi?? Bisa jadi dengan alasan protokol kesehatan, proses pengawasan Pemilu akan menjadi lebih sulit. Utamanya bagi pengawas independen.
Olehnya ada yang bilang, ini adalah ‘kegenitan’ KPU yang memaksakan penyelenggaran Pilkada dalam situasi ‘tak normal’. Syahwat berkuasa para elit politik dan birokrasi yang hendak berkuasa juga mendorong pengambilan keputusan oleh KPU itu. Bukankah lebih baik menyelesaikan proses penanganan pandemi ini dulu tinimbang menyelenggarakan Pilkada?! Tapi entahlah, bisa jadi ‘mereka’ sudah punya pertimbangan lebih matang dan cermat daripada kita?!
Kekuasaan memang seperti perempuan seksi yang tak cukup cuma dilirik, tapi harus dimiliki. Kaum feminist yang getol memperjuangkan kesetaraan gender pun pasti tak menemukan defenisi tepat pada syahwat kuasa ini. Kekuasaan memang begitu menggoda.
Saya cuma ingin menyampaikan lagi; Bahkan untuk pembiayaan penanganan pandemi virus corona kita mesti melakukan refocusing dan realokasi APBN dan APBD, juga menambah utang luar negeri baru, bagaimana lagi bila ditambah pembiayaan Pilkada?!
Ini seperti yang orang bilang: “Dont think, dont ask, pay tax and vote us.” – “Jangan berpikir, jangan bertanya, bayar pajak dan pilih kami.” Selebihnya; “Jangan pula pikirkan, jangan pula tanyakan.” ***