Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa Pilkada 2020 tak bisa ditunda, harus tetap berjalan meski kasus Covid-19 di Indonesia belum ada sinyal melandai. Presiden beralasan, tak ada seorang pun yang bisa memastikan kapan pandemi bakal berakhir.
“Penyelenggaraan pilkada harus tetap dilakukan dan tidak bisa menunggu sampai pandemi berakhir,” kata Jokowi dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (8/9/2020) lalu.
Kukuhnya Pemerintah dengan tetap menggelar Pilkada itu, membuat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengeluarkan pernyataan pers mendesak penundaan perhelatan demokrasi itu.
Pernyataan resmi ini ditandatangani Ketua Umum PBNU Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, MA dan Sekretaris Jenderal Dr. Ir. H. Helmy Faishal Zaini.
Nahdlatul Ulama berpendapat bahwa melindungi kelangsungan hidup (hifdz al-nafs) dengan protokol kesehatan sama pentingnya dengan menjaga kelangsungan ekonomi (hifdz al-mâl) masyarakat.
“Namun karena penularan Covid-19 telah mencapai tingkat darurat, maka prioritas utama kebijakan negara dan pemerintah selayaknya diorientasikan untuk mengentaskan krisis kesehatan,” sebut PBNU dalam siaran berita itu.
Di tengah upaya menanggulangi dan memutus rantai penyebaran Covid-19, Indonesia tengah menghadapi agenda politik, yaitu Pilkada serentak di 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota yang puncaknya direncanakan akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020.
PBNU memandang sebagaimana lazimnya perhelatan politik, momentum pesta demokrasi selalu identik dengan mobilisasi massa. Kendatipun ada pengetatan regulasi terkait pengerahan massa, telah terbukti dalam pendaftaran paslon terjadi konsentrasi massa yang rawan menjadi klaster penularan.
Fakta bahwa sejumlah penyelenggara pemilu, baik di tingkat pusat maupun daerah, serta para calon kontestan Pilkada di sejumlah daerah positif terjangkit Covid-19.
Olehnya Nahdlatul Ulama meminta Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk menunda pelaksanaan tahapan Pilkada serentak tahun 2020 hingga tahap darurat kesehatan terlewati.
“Pelaksanaan Pilkada, sungguh pun dengan protokol kesehatan yang diperketat, sulit terhindar dari konsentrasi orang dalam jumlah banyak dalam seluruh tahapannya,” hemat mereka.
NU juga meminta untuk merealokasikan anggaran Pilkada bagi penanganan krisis kesehatan dan penguatan jaring pengaman sosial;
Sebagaimana diketahui, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 sudah melaporkan total jumlah pasien baru terkonfirmasi positif virus corona penyebab Covid-19 di Indonesia, Senin (21/9/2020) per pukul 12.00 WIB, sebanyak 4.179 orang.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengumumkan ribuan orang yang terinfeksi Virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 ini menambah kasus positif secara akumulatif sejak kasus pertama menjadi total 248.852 orang.
Angka penambahan tersebut didapatkan dari hasil pemeriksaan 27.525 spesimen hari ini. Total spesimen yang sudah diperiksa sejak kasus pertama covid-19 hingga hari ini sebanyak 2.950.173 spesimen dan total orang yang diperiksa baru 1.743.000 orang.
Spesimen ini diperiksa di 320 laboratorium dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) di 158 lab, Tes Cepat Molekuler (TCM) di 138 lab, dan laboratorium jejaring (RT-PCR dan TCM) di 24 lab.
Dari jumlah itu, ada tambahan 124 orang meninggal sehingga total menjadi 9.677 jiwa meninggal dunia.
Kemudian, ada tambahan 3.470 orang yang sembuh sehingga total menjadi 180.797 orang lainnya dinyatakan sembuh. Sementara itu, kasus suspek hingga saat ini mencapai 108.880 orang.
Data kemarin, positif 244.676 orang, dirawat 57.796 orang, sembuh 177.327 orang, dan meninggal 9.553 jiwa.
Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum RI telah menetapkan tahapan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah serentak 2020 di era pandemi Virus Corona. Pilkada serentak 2020 yang sudah direncanakan sebelum tertunda sekitar 3 bulan imbas dari pandemi Virus Corona.
Tentu saja, gelaran Pilkada 2020 kali ini akan berbeda dengan Pilkada tahun-tahun sebelumnya. Salah satunya, KPU akan menerapkan protokol kesehatan Covid-19 dalam seluruh tahapan penyelenggaraan Pilkada 2020.
Dijadwalkan KPU akan menetapkan masa pemutakhiran Daftar Pemilih Sementara hingga penetapan Daftar Pemilih Tetap pada 15 Juni-6 Desember 2020.
Pada 4-6 September lalu KPU telah menerim pendaftaran bakal calon kepala daerah. Setelah itu, KPU akan melakukan rangkaian verifikasi terhadap bakal calon yang mendaftar. Nantinya, KPU akan menetapkan pasangan calon kepala daerah yang akan berlaga pada 23 September 2020.
Tahapan kampanye akan dimulai pada 26 September hingga 5 Desember atau sebanyak 71 hari. KPU membagi masa kampanye calon kepala daerah ini dengan tiga fase.
Fase pertama yakni kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, dialog, penyebaran bahan kampanye kepada umum pemasangan alat peraga dan/atau kegiatan lain.
Fase kedua, KPU akan menggelar debat publik/terbuka antarpasangan calon sebagai bagian dari kampanye calon kepala daerah. Fase pertama dan kedua masa kampanye itu akan digelar pada 26 September hingga 5 Desember 2020.
Fase ketiga, KPU akan membuka kampanye calon kepala daerah melalui media massa, cetak, dan elektronik, pada 22 November hingga 5 Desember 2020.
Masa tenang dan pembersihan alat peraga sendiri akan dilakukan pada 6-8 Desember 2019.
Pemungutan suara sekaligus penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS) dilaksanakan pada 9 Desember 2020.
Setelah itu, penghitungan suara secara berjenjang dilakukan. Runutannya, penghitungan suara di tingkat kecamatan akan digelar pada 10-14 Desember, penghitungan suara di kabupaten/kota 13-17 Desember. Penghitungan suara di tingkat provinsi untuk pemilihan gubernur berlangsung pada 16-20 Desember.
Untuk diketahui, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 sudah merinci bahwa 40 dari 261 kabupaten atau kota yang akan menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 masuk dalam zona penyebaran virus corona. Selanjutnya, 99 kabupaten atau kota lainnya masuk di zona oranye, 72 di zona kuning, dan 43 berada di zona hijau penyebaran Covid-19.
Sampai di sini, tentu saja ini tak jadi soal. Ini adalah proses demokrasi yang memang sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. Namun, selain kekuatiran ledakan kasus baru Covid-19, yang jadi soal lain adalah bagaimana mengawasi prosesnya. Utamanya terkait penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.
Ini bila kita berkaca pada Pemilu 2019 yang centang perenang dan meninggalkan banyak pertanyaan lantaran diduga penuh kecurangan. Dalam proses ini KPU adalah produser, sutradara dan aktor sekaligus. Mereka adalah penentu.
Keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang memberhentikan dua komisioner KPU, Evi Novida Ginting dan Ilham Saputra terkait penggelembungan suara bukanlah perkara kecil.
Bisa jadi kasus ini adalah ‘gunung es’ dari kasus lain. Sayang, cuma dua kasus itu yang sampai ke DKPP. Sedang yang lain tak dianggap. Permintaan beberapa pihak untuk mengotopsi kematian para penyelenggara Pemilu tak digubris. Bayangkan saja Sebanyak 894 Petugas KPPS Meninggal Dunia dalam penyelenggaran Pemilu 2019 lalu. Kematian mereka menimbulkan pertanyaan yang hingga kini tak terjawab.
Proses Pilkada bisa jadi tak sekompleks Pileg dan Pilpres. Jumlah yang akan dipilih warga pun terbatas pada beberapa calon saja, namun prosesnya serupa.
Dalam situasi normal saja dengan proses pengawasan yang begitu ketat, tetap saja kecurangan demi kecurangan dapat terjadi. Nah, bagaimana dalam situasi pandemi?? Bisa jadi dengan alasan protokol kesehatan, proses pengawasan Pemilu akan menjadi lebih sulit. Utamanya bagi pengawas independen.
Olehnya ada yang bilang, ini adalah ‘kegenitan’ Pemerintah dengan ‘menggunakan tangan’ KPU yang memaksakan penyelenggaran Pilkada dalam situasi ‘tak normal’.
Syahwat berkuasa para elit politik dan birokrasi yang hendak berkuasa juga mendorong pengambilan keputusan oleh KPU itu. Bukankah lebih baik menyelesaikan proses penanganan pandemi ini dulu tinimbang menyelenggarakan Pilkada?! Tapi entahlah, bisa jadi ‘mereka’ sudah punya pertimbangan lebih matang dan cermat daripada kita?!
Kekuasaan memang seperti perempuan seksi yang tak cukup cuma dilirik, tapi harus dimiliki. Kaum feminist yang getol memperjuangkan kesetaraan gender pun pasti tak menemukan defenisi tepat pada syahwat kuasa ini. Kekuasaan memang begitu menggoda.
Saya juga ingin menyampaikan; Bahkan untuk pembiayaan penanganan pandemi virus corona kita mesti melakukan refocusing dan realokasi APBN dan APBD, juga menambah utang luar negeri baru, bagaimana lagi bila ditambah pembiayaan Pilkada?!
Ini seperti yang orang bilang: “Dont think, dont ask, pay tax and vote us.” – “Jangan berpikir, jangan bertanya, bayar pajak dan pilih kami.” Apa dampak selanjutnya; “Jangan pula pikirkan, jangan pula tanyakan.” ***