Cendana, 23.00 WIB. Dalam bayang-bayang istana kaca keluarga Widjaya.

Gerimis meluruh pelan-pelan dari langit Kota Cendana, seperti air mata yang ragu-ragu jatuh. Malam itu, di kediaman mewah keluarga konglomerat Mahesa Widjaya, cahaya lampu mewah menggantung lesu. Di salah satu ruang makan berdesain klasik Eropa, seorang pemuda duduk diam. Ia tampan, sopan, dan penuh harapan. Namanya: Satria Wibawa.

“Minumlah tehnya, Nak. Mama buatkan khusus buatmu,” kata , ibu tiri yang tampak begitu lembut. Wajahnya penuh kasih, matanya berair, tangannya memegang cangkir .

Satria tersenyum kecil. “Terima kasih, Ma. Saya tahu Ibu masih perhatian, meski Bapak jarang di rumah akhir-akhir ini.”

Sarah tertawa kecil, lalu berbalik sebentar ke arah jendela. Tak terlihat olehnya, di sudut senyumnya tersembunyi kesedihan palsu—dan rencana keji yang malam ini harus dilaksanakan.

“Bapakmu sibuk,” ujarnya pelan. “Tapi jangan khawatir. Setelah malam ini, kamu akan beristirahat panjang.”

Satria meminum teh hangat itu tanpa curiga. Aroma melati menyamarkan pahit dari racun akar tumbuhan langka yang hanya dikenal dalam dunia beladiri rahasia: —racun yang memperlambat denyut jantung, lalu membuat korban tak sadar saat tubuhnya mulai lumpuh.
Beberapa menit kemudian, jari-jari Satria mulai gemetar. Napasnya terengah.

“Ibu… ini… teh… kenapa—”

Sarah mendekat, mengelus pelipisnya.

“Maafkan aku, Satria. Ini bukan salahmu. Tapi Bapakmu… terlalu banyak menaruh harapan padamu. Dan kau tahu? Harta warisan itu… harus jadi milikku dan putraku nanti. Bukan untuk anak dari istri pertamanya.”

Satria mencoba berdiri, namun kakinya tak bisa menopang. Dunia di sekelilingnya mulai berputar.

Jurang Senja. Tiga Jam Kemudian Tubuh Satria dimasukkan ke dalam sebuah peti logam tipis yang sudah dilapisi selimut. Sarah menyuruh dua orang sopir bayaran untuk membawa peti itu ke sebuah tebing sunyi di luar kota Cendana.

“Pastikan tak ada yang tahu. Buang ke jurang itu. Jurang Senja. Tak ada yang bisa hidup jika jatuh ke sana,” ucap Sarah dingin.

Kedua pria itu mengangguk, lalu melemparkan peti ke dalam kegelapan jurang. Dentumannya nyaris tak terdengar di bawah gemuruh angin malam. Hujan masih turun perlahan. Seolah ikut berkabung.

Sementara itu…Di balik kabut dan akar-akar besar yang menjuntai seperti tirai di dasar jurang, seorang kakek renta sedang bermeditasi. Tubuhnya kurus, berjubah putih pudar, dan duduk di atas batu datar yang mengambang di atas air.

Matanya terbuka perlahan. Ia merasakan dentingan energi.

“Ah… langit menurunkan tamu malam ini.”

Ia bangkit. Dengan gerakan halus tapi penuh tenaga dalam, ia melompat tinggi—menyambut peti yang jatuh.

Saat peti terbuka dan tubuh Satria terhempas di antara batu dan akar, si kakek mengangkat satu tangannya. Aliran udara membungkus tubuh pemuda itu, mencegah luka lebih parah.

“Darah muda, napas nyaris tiada… Tapi jiwamu belum menyerah.”

Kakek itu tersenyum tipis. “Namamu siapa, bocah?”

Satria tak menjawab. Matanya tertutup, napasnya berat.

“Tak mengapa. Kau akan tidur sebentar. Namamu akan kutulis dalam kitab latihan. Kelak, kau bukan sekadar hidup. Kau akan menghidupi dunia baru…”

Sang pertapa——mengangkat tubuh Satria, membawanya masuk ke gua pelatihan yang tersembunyi di dalam batuan purba.

Dan malam itu… lahirlah takdir baru. Bukan untuk seorang anak konglomerat. Tapi untuk calon yang kelak akan mengguncang dunia bawah tanah kota Cendana—dan mungkin… langit itu sendiri.

Bersambung ke Episode 2: Pertemuan dengan Eyang Kala Kembara…