Lembaga Arsip Rahasia Pendekar. Bawah Tanah Kota Tua Cendana. Di bawah kompleks pasar tua yang kini dipenuhi lapak-lapak second-hand dan penjual kaset lawas, tersembunyi ruang bawah tanah yang hanya bisa diakses melalui jalur batin. Satria menyusuri lorong remang itu dengan peta batin hasil meditasi di Gua Cakrawala Sunyi.

Tempat ini dulunya dikenal sebagai Perpustakaan Bayangan Mahesa—arsip pribadi sang pendekar pendiri Langit Hitam. Di sini, bukan buku yang disimpan… melainkan fragmen jiwa, suara, dan peristiwa yang ditanam ke dalam batu-batu batin.

Satria menempelkan kalung obsidian peninggalan Mahesa ke batu penanda utama.

Seketika, batu bergetar dan ruang terbuka. Di dalamnya, ruangan melingkar menyala lembut, menampilkan puluhan orb memori menggantung di udara.

Orb Merah Tua. Silsilah Darah. Satria mengambil salah satu orb yang berwarna merah tua. Saat disentuh, orb itu memancarkan cahaya lalu membentuk bayangan Mahesa—tak hanya wajah, tapi juga getaran suaranya.

“Untuk anak-anakku… jika kalian mendengar ini, berarti darahku telah menemukan jalannya. Tapi jalan itu tak hanya satu. Ada dua warisan yang kubawa: jalan pedang… dan jalan pengampunan.”

Bayangan itu menoleh, seolah menatap Satria langsung.

“Satria… Kartika melindungimu dari kekuatan ini. Tapi ada satu lagi yang kulindungi dengan cara berbeda.”

“Namanya… Shinta Kartini Widjaya. Anak dari Sarah… darah dari darahku. Ia dijaga dalam terang, namun dibesarkan dalam bayangan.”

Satria terdiam. Dunia di sekelilingnya seperti berhenti.

“Dia adikmu. Setengah darahmu. Tapi juga pewaris kekuatanku yang tidak pernah kuberikan… karena ia lahir dari pilihan yang tak kurelakan.”

Runtuhnya Kepercayaan. Satria terhuyung. Tangannya meninju dinding batu. Suara gemuruh membelah keheningan.

“Shinta… bukan hanya pengkhianat. Tapi juga saudaraku?”

Semua getaran rasa cinta… hancur berkeping.

Semua momen makan di warung kaki lima, tawa-tawa di tengah pasar, percakapan malam di balkon… berubah menjadi pisau yang perlahan mengiris nurani.

Namun di tengah guncangan, suara Mahesa dalam orb itu berbicara lagi: “Jika dua darahku bertemu dan tidak saling membunuh, maka dunia ini masih memiliki harapan.”

Sore Hari. Rooftop Apartemen yang Mereka Pernah Sepakati Sebagai Tempat Paling Jujur. Satria menunggu di sana. Angin sore membawa aroma hujan. Ia berdiri menghadap matahari yang sebentar lagi tenggelam.

Langkah kaki terdengar pelan. Shinta muncul. Wajahnya pucat. Mata bengkak. Tapi tetap… cantik dalam luka yang ia tahan sendiri.

“Kenapa di sini?” tanyanya pelan.

Satria menatap tanpa senyum. “Karena ini satu-satunya tempat… yang tidak pernah kita gunakan untuk berbohong.”

Shinta menggigit bibir. “Kau sudah tahu, ya?”

“Bahwa kau bagian dari Langit Hitam? Sudah. Bahwa kau… adikku? Baru hari ini.”

Shinta terisak. Ia mencoba mendekat, tapi Satria mundur setapak.

“Jangan sentuh aku dulu,” ujarnya. “Hatiku belum bisa membedakan apakah aku ingin memelukmu… atau membuangmu ke jurang yang sama seperti yang kulalui dulu.”

Shinta menangis. Air matanya jatuh tanpa suara.

“Aku tak tahu… Aku tak tahu harus jadi siapa, Sat…”

“Aku tumbuh dalam bayangan. Tapi tiap detik bersamamu, aku merasa jadi manusia. Bukan alat.”

Satria menatapnya. Untuk sesaat, hanya angin sore yang bicara.

Akhirnya, ia berkata, “Kalau begitu, jangan jadi bagian dari terang. Jangan juga ikut gelap. Tapi berdirilah bersamaku… di antara keduanya. Di tengah.”

Dan di senja itu, dua anak Mahesa berdiri diam. Tak sebagai kekasih. Tak sebagai musuh. Tapi sebagai dua pecahan takdir… yang memutuskan untuk tidak saling melukai.

Bersambung ke Episode 18: Pertemuan Para Pendekar Tertinggi