Gunung Ilalang. Titik Netral di Dunia Pendekar. Di dunia silat dan spiritual Cendana Raya, ada satu tempat yang tak bisa disentuh oleh kekuatan politik, uang, maupun dendam aliran: Gunung Ilalang. Bukan sekadar dataran tinggi, tempat ini adalah wilayah netral yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang telah mencapai tingkat Pendekar Langit, tak peduli dari aliran mana.

Setiap dekade, jika ancaman besar mengintai keseimbangan dunia pendekar, maka Pertemuan Tertinggi diselenggarakan di sini. Dan untuk pertama kalinya dalam tiga puluh tahun, nama Satria Wibawa muncul dalam undangan resmi pertemuan ini.

Tujuh Meja Batu, Tujuh Kekuatan Lama. Di tengah lapangan alami Gunung Ilalang, terdapat tujuh meja batu, masing-masing melambangkan kekuatan utama dunia silat:

  • Meja Timur – Aliran Cahaya Murni, diwakili oleh Pendeta Tua Adityananda dari Biara Matahari.
  • Meja Barat – Aliran Bayangan Dalam, diwakili oleh Bayu Kanda, penerus langsung ajaran Mahesa.
  • Meja Utara – Aliran Elemen dan Penyembuh, diwakili oleh Tabib Wulan Resmi.
  • Meja Selatan – Aliran Alam Gerak Lembut, diwakili oleh Raden Cempaka, pendekar buta yang bisa membaca aura.
  • Meja Tengah – Meja Netral, tempat para penengah duduk.
  • Meja Langit Hitam – Pewaris Mahesa, dikosongkan selama 30 tahun.
  • Meja Tak Bernama – Diperuntukkan hanya bagi mereka yang tidak memilih jalan, seperti Satria Wibawa.

Kedatangan yang Mengejutkan. Saat matahari tepat di atas kepala, Satria Wibawa melangkah masuk ke lapangan, diiringi suara semilir dan bisik-bisik pendekar tua.

Dia mengenakan pakaian putih sederhana, tanpa senjata, tanpa simbol.

Langkahnya tenang, tapi bayangan tubuhnya… bergetar dua arah—terang dan gelap.

Pendeta Adityananda menyipitkan mata. “Dia anak Mahesa?”

Bayu Kanda menyeringai. “Lebih dari itu. Dia ancaman bagi seluruh tatanan.”

Tabib Wulan berkata lembut, “Atau… mungkin dia obat dari luka yang kita semua simpan selama ini.”

Dialog di Meja Batu. Ketua pertemuan, Raden Cempaka, berdiri.

“Satria Wibawa… kau dipanggil bukan sebagai murid. Tapi sebagai kemungkinan.”

“Di dunia ini, kekuatan tak lagi seimbang. Langit Hitam menguat. Cahaya Murni melemah. Penghancuran akan terjadi.”

“Kami di sini menuntut jawaban: Apakah kau akan berdiri bersama terang? Bersatu melawan Langit Hitam? Atau… kau akan melanjutkan garis Mahesa?”

Satria berdiri tegak.

Matanya menyapu semua wajah tua, penuh kebijaksanaan—dan ketakutan.

“Aku bukan Mahesa. Tapi aku darahnya.”

“Aku bukan Kartika. Tapi aku luka dan cintanya.”

“Dan aku bukan kalian. Karena aku… tidak memilih kutub mana pun.”

Hening. Lalu Satria mengangkat tangan. Sebuah teknik batin dilepaskan—mantra getar jiwa—yang hanya bisa dipahami oleh pendekar tingkat tinggi.

Semua merasakan sesuatu. Bukan tekanan. Tapi kebebasan.

“Aku datang bukan untuk menyatukan kekuatan kalian. Tapi untuk mencegah kalian saling membunuh.”

“Jika perang tak terhindarkan… maka aku akan berdiri di tengah. Dan memukul siapa pun—yang mengayunkan senjata demi ambisi pribadi.”

Pecahnya Konsensus. Bayu Kanda tertawa sinis. “Omong kosong! Dunia butuh penguasa, bukan penjaga! Penengah hanya membuat waktu terbuang!”

Pendeta Adityananda memukul meja. “Cukuplah, Bayu. Lidahmu tak lebih tajam dari jurusmu.”

Tapi justru di saat itu, meja batu Langit Hitam bergemuruh. Batu pecah, dan dari dalamnya muncul tiga sosok bertopeng, tak dikenal bahkan oleh Bayu sendiri.

Salah satunya berkata dengan suara yang seperti logam:

“Satria Wibawa bukan hanya warisan Mahesa. Ia adalah ancaman bagi rencana yang telah disusun sejak 20 tahun lalu.”

Satria menatap tajam. “Siapa kalian?”

Sosok itu membuka topeng.

Wajahnya… adalah wajah Mahesa. Tapi lebih muda. Lebih dingin.

“Namaku Sagara Widjaya. Saudaramu. Anakku… juga.”

Dunia Bergetar. Para pendekar gemetar. Satria menatap wajah saudara tirinya—yang lahir dari rahasia Mahesa, dibesarkan bukan untuk keseimbangan… tapi untuk kekuasaan.
Perang bukan hanya datang. Tapi telah duduk di meja yang sama.

Bersambung ke Episode 19: Saudara dari Sisi Tergelap…