Hari ke-9 setelah terbangun. Gua Batu Mawar. Malam turun perlahan di dasar Jurang Senja. Satria duduk bersila di atas batu datar. Napasnya lambat dan panjang, mengikuti irama yang diajarkan Eyang Kala Kembara: Satu Tarikan, Satu Dunia. Satu Hembusan, Satu Kehidupan.
Di sekelilingnya, lilin-lilin kecil menyala tanpa api. Mereka hidup dari getaran energi yang ditanam Kala Kembara di tiap sudut gua. Di hadapan Satria, terletak satu mangkuk air jernih, seolah memantulkan langit yang hilang di atas jurang sana.
“Minum air itu perlahan,” kata Kala Kembara. “Air ini bukan sekadar untuk menghilangkan haus. Ia adalah cermin. Ia akan membawamu pada hari-hari yang tak kau ingat.”
Satria mengangguk. Ia mengangkat mangkuk itu dan meneguknya. Rasanya hambar, nyaris tak berasa. Tapi beberapa detik kemudian…
…Dunia berubah.
Visi batin: Memori yang Disegel. Satria terbangun dalam dunia lain. Tidak ada gua, tidak ada jurang. Ia berada di dalam rumah masa kecilnya—rumah yang sudah dijual setelah ibunya meninggal. Dinding bercat krem, rak-rak penuh buku, dan aroma bunga sedap malam.
Ia mendengar suara. Lembut. Penuh kasih.
“Satria… jangan pernah menyerah pada kebaikan, bahkan jika dunia menusukmu dari belakang.” Ibunya, Kartika Larasati.
Wajahnya hadir di antara kabut mimpi. Ia sedang menyisir rambut Satria kecil, di samping jendela yang menghadap taman. Mata wanita itu bercahaya, namun tubuhnya tampak lemah.
“Jika sesuatu terjadi padaku… jangan benci siapa pun. Tapi kuatkan dirimu. Kelak, kamu akan mengerti.”
Kilasan berganti cepat—ibunya batuk darah, kamar rumah sakit, surat warisan, dan wajah Sarah Widyawati dengan senyum palsu menyambut kematian itu.
Kemudian, gambaran lain: Sarah berbicara pada pengacara keluarga, lalu menyobek sesuatu dari berkas. Di latar belakang, Satria remaja menangis di pojok ruangan, tak tahu bahwa nasibnya sedang diputuskan saat itu juga.
Kembali ke gua. Napas tercekat. Satria tersentak dari meditasinya. Air di mangkuk tumpah. Tubuhnya menggigil. Peluh dingin mengucur dari pelipisnya.
Kala Kembara menatapnya tanpa berkata.
“Dia… dia bukan cuma membunuhku malam itu, Kek… Dia sudah membunuhku sejak aku berusia lima belas tahun.” Suaranya lirih.
“Begitulah cara dunia bekerja di atas panggung para haus kuasa,” jawab Eyang. “Tapi ingat, Satria. Jika kau hanya jadi korban, kau hanya akan dikubur sejarah. Jika kau bangkit, maka sejarah akan mengingatmu.”
Ujian Pertama: Ilusi dan Diri. Malam itu juga, Eyang mengajaknya ke lorong gua terdalam: Ruang Bayangan Diri.
“Sebelum kau belajar jurus, sebelum kau belajar tenaga dalam, hadapilah dirimu. Itu ilmu pertama para pendekar bumi.”
Satria masuk ke ruangan gelap. Tiba-tiba, seberkas cahaya memunculkan… dirinya sendiri. Tapi bukan Satria yang sekarang. Ini adalah Satria yang pengecut, pemarah, dan penuh dendam.
Bayangan itu menyerangnya.
Pertarungan terjadi dalam diam. Tendangan dan pukulan saling bersambut. Tapi ini bukan soal fisik. Ini pertarungan antara hati yang ingin memaafkan dan hati yang ingin membalas.
“Kenapa kau tak membiarkan aku membunuhnya?!” teriak bayangan.
“Karena aku bukan dia! Aku bukan Sarah! Aku bukan monster seperti dia!”
Satria menjerit, dan dengan satu tarikan napas panjang, ia memukul bayangannya hingga pecah menjadi debu cahaya.
Pagi keesokan harinya. Kala Kembara menyambutnya dengan cangkir teh herbal.
“Selamat datang, Pendekar Bumi Mula.”
Satria menatap kakek tua itu. Matanya tak lagi bingung, tak lagi gentar. Ia menggenggam cangkir itu dengan tangan yang masih gemetar, tapi matanya tenang.
“Aku siap, Kek. Ajar aku cara berdiri… untuk melawan mereka semua. Bukan dengan dendam. Tapi dengan martabat.”
Kala Kembara mengangguk pelan. “Begitulah caramu naik ke langit—bukan dengan sayap dendam, tapi dengan napas yang tahu arah.”
Bersambung ke Episode 4: Langkah Pertama Sang Pendekar Bumi Mula…