Hari ke-40. Gerbang Rimba Hening. Fajar baru meneteskan embun terakhirnya ketika Satria berdiri di hadapan belantara yang rapat dan pekat: Rimba Hening. Hutan ini bukan hutan biasa. Pohon-pohonnya tinggi menjulang seperti tiang-tiang kuil purba. Udara di dalamnya terasa berat, dan angin seolah membawa bisikan dari masa silam.

Eyang Kala Kembara berdiri di samping Satria. Tongkatnya menghentak tanah tiga kali. Tanah di depan mereka retak, dan akar-akar tua menggeliat membuka jalan setapak.

“Di sinilah, banyak pendekar muda kehilangan arah. Bukan karena tak tahu jalan. Tapi karena terlalu yakin telah mengenali dirinya sendiri,” kata Eyang.

Satria menatap ke depan. “Apa yang akan saya hadapi di dalam, Kek?”

“Bukan harimau. Bukan ular. Tapi sesuatu yang tak pernah bisa kau pukul dengan tangan. Kau hanya bisa menaklukkannya… bila hatimu jujur.”

Ujian Dimulai. Rimba yang Menghidupkan Kenangan. Satria melangkah masuk. Semakin dalam ia berjalan, pohon-pohon terasa makin hidup. Ranting berdesir seolah membisikkan namanya. Cahaya matahari tertahan di pucuk daun, hanya menyisakan bayangan kelam di bawah.

Lalu ia tiba di sebuah bukit kecil, di mana sebuah batu besar berlumut berdiri tegak. Di atas batu itu… ada pria yang sangat ia kenali: Mahesa Widjaya, ayah kandungnya.

Tapi Mahesa tampak lebih muda, gagah, dengan luka panjang di pipi kiri.

“Ayah?” Satria mendekat, suara tercekat.

Mahesa menatapnya, namun ekspresinya tak ramah. “Kau pikir kau satu-satunya yang dikhianati?”

Satria terpaku.

“Aku pernah berdiri di tempatmu,” lanjut Mahesa. “Dipukul, ditusuk, dikhianati oleh saudara sendiri… demi kekuasaan. Itulah sebabnya aku menolak dunia beladiri. Aku memilih dunia bisnis. Aku ingin anakku tumbuh jauh dari darah.”

Satria tercekat. Sosok itu bukan hanya ilusi. Ia adalah sisa batin Mahesa Widjaya yang tertinggal di Rimba ini, karena Mahesa pernah diuji di tempat yang sama puluhan tahun lalu.

“Tapi kenapa kau membiarkan Sarah menginjak-injak warisan Ibu? Kenapa kau diam saja?”

Bayangan Mahesa menatapnya tajam. “Karena diam adalah satu-satunya cara aku bertahan hidup… agar bisa menjagamu dari jauh. Tapi saat itu, aku terlalu lemah. Dan kini… giliranmu untuk tidak mengulangiku.”

Serangan Ilusi. Bayangan Mahesa Menyerang. Tiba-tiba sosok Mahesa berubah. Matanya merah. Tubuhnya membesar. Ia melompat menyerang Satria dengan pukulan Jurus Langit Runtuh, jurus rahasia yang hanya diketahui pendekar tingkat tinggi.

Satria menangkis, tapi terpental.

Di tengah debu dan daun gugur, Satria berdiri kembali. Ia mengatur napas, lalu mengaktifkan jurus Jejak Empat Arah.

Ia tak melawan dengan dendam. Tapi dengan kesadaran.

“Aku tidak akan menjadi seperti Ayah. Tapi aku juga tak akan membencimu. Aku akan menjadi sesuatu yang baru… aku akan menjadi aku sendiri.”

Ia melompat, memutar badan, dan mengarahkan telapak tangan kanan ke dada sosok Mahesa.

“Nafas Bumi – Jejak Pemutus Warisan!”

Sinar lembut keluar dari telapak tangannya. Bukan pukulan… tapi pelepasan.

Bayangan Mahesa menyeringai… lalu tersenyum… dan menghilang dalam serpihan cahaya.

Sore Hari. Kembali ke Pelataran Gua. Kala Kembara menunggu dengan secangkir teh dan setangkai bunga liar.

“Kau menang,” ujarnya pendek.

Satria duduk kelelahan, tapi wajahnya tenang.

“Ayahku… pernah menjadi pendekar juga, ya?”

Kala Kembara mengangguk. “Mahesa Widjaya adalah Pendekar Langit Muda. Tapi ia meninggalkan dunia beladiri karena luka batin yang terlalu dalam. Ia memilih menjadi raja bisnis… dengan harapan anaknya tak perlu menumpahkan darah.”

Satria menatap langit.

“Tapi darah sudah tertumpah, Kek. Dan jika aku harus menempuh jalan ini… aku tak akan mundur.”

Malam itu, pelataran gua diselimuti kabut putih tipis. Di tengah kesunyian, Satria berdiri sendiri—dan untuk pertama kali, tubuhnya memancarkan aura hijau lembut.

Ia telah lulus Ujian Rimba.

Dan kini, di dunia persilatan, namanya diam-diam mulai tercatat sebagai: Pendekar Bumi Madya.

Bersambung ke Episode 6: Sumpah Pendekar Sejati…