Hari ke-60. Puncak Batu Cahaya, di atas Gua Batu Mawar Langit berwarna perak keemasan. Senja seperti melukis lukisan terakhir sebelum malam benar-benar turun. Di sebuah dataran tinggi, di ujung jurang yang dulu nyaris menjadi kuburannya, Satria Wibawa berdiri tegap, mengenakan jubah latihan warna arang. Di depannya, terbentang panorama hutan dan tebing, seolah dunia sedang menunggu keputusan.

Kala Kembara berdiri satu meter di belakangnya, membawa gulungan kain putih dan sebilah pedang tua yang belum pernah ia keluarkan sebelumnya.

“Hari ini kau resmi melampaui batas dirimu,” ucap Eyang. “Kau tak lagi sekadar muridku. Kau adalah pendekar sejati. Tapi menjadi pendekar bukan sekadar soal jurus dan tenaga dalam…”

Satria menunduk hormat. “Saya siap mendengarkan.”

“…Ini tentang sumpah. Sumpah yang mengikatmu lebih kuat dari darah dan dendam. Dan sumpah itu… harus kau ucapkan di tempat yang hampir mengambil hidupmu.”

Kala Kembara menunjuk ujung batu menjorok yang menghadap langsung ke jurang Senja.

Ritual Sumpah Pendekar. Satria melangkah ke ujung batu. Angin menerpa wajahnya. Debur angin dari dasar jurang seolah memanggil kembali ingatan malam itu: saat tubuhnya dilemparkan ke kegelapan oleh wanita yang ia panggil “ibu”.

Kala Kembara membuka gulungan kain putih. Di dalamnya tertulis mantra kuno dan teks sumpah pendekar yang diwariskan dari generasi ke generasi.

“Demi bumi yang kupijak, langit yang menaungiku, dan darah yang mengalir dalam diam…”

“Aku bersumpah tak akan mencabut pedang untuk kesombongan, tak akan mengangkat tangan demi kebencian.”

“Ilmu yang kuterima bukan untuk pembalasan, tapi untuk penjagaan.”

“Jika aku melanggar… biarlah bumi menolak langkahku, dan langit menutup napasku.”

Satria mengulang kalimat itu perlahan, jelas, dan dalam. Setelah selesai, Kala Kembara menghunuskan pedang tua, dan dengan lembut, menggoreskan simbol पृथिव्याः त्रयः साहसाः – Tiga Keberanian Bumi di dada kiri Satria, hanya sedikit meneteskan darah.

Tanda itu bukan sekadar luka. Itu adalah lambang bahwa ia kini resmi menjadi pendekar dunia persilatan: Pendekar Bumi Madya.

Malam. Api Unggun dan Percakapan Rahasia. Satria dan Kala Kembara duduk berhadapan. Di antara mereka, api unggun menari seperti roh kecil yang riang. Kala Kembara tampak lebih tua dari biasanya. Pandangannya jauh menembus malam.

“Satria,” katanya pelan, “waktumu di tempat ini hampir habis.”

Satria menatapnya.

“Latihan ini belum selesai.”

“Benar. Tapi jalanmu bukan lagi di sini. Sudah tiba waktunya kau turun gunung.”

Hening sejenak. Angin berdesir pelan seperti membisikkan perpisahan.

“Aku tak tahu harus mulai dari mana,” ujar Satria jujur.

“Kau akan tahu,” sahut Eyang. “Takdir akan menggiringmu. Kau hanya perlu berjalan.”

Satria mengangguk. “Apa aku boleh membawa nama guruku?”

Kala Kembara tersenyum. “Bawalah namaku hanya jika terpaksa. Tapi bawalah ajaranku di setiap langkahmu. Itu lebih penting.”

Fajar keesokan hari. Perpisahan Kala Kembara memberikan Satria dua benda: Sebuah cincin batu cendana hitam, lambang pendekar madya. Sebuah kapsul besi kecil, berisi nama-nama orang yang pernah membunuh ibunya.

“Gunakan ini hanya jika jiwamu benar-benar siap,” ujar Eyang.

Satria memeluk gurunya. Tubuh tua itu bergetar lembut.

“Terima kasih, Kek… untuk segalanya.”

“Pergilah. Dunia menunggumu. Tapi ingat: dunia juga tak akan menyambutmu dengan ramah.”

Dan pagi itu, Satria Wibawa melangkah turun dari jurang yang dulu hendak menelannya. Tapi kini ia turun bukan sebagai korban. Ia turun sebagai pendekar. Sebagai harapan yang berjalan dalam diam.

Namanya belum dikenal. Tapi jejaknya akan mengguncang.

Bersambung ke Episode 7: Kembali ke Kota Cendana…