Kota Cendana. Terminal Raya Selatan. Tujuh tahun telah berlalu sejak malam gerimis itu. Tapi Kota Cendana, ibu kota metropolitan yang penuh lampu dan ambisi, tak pernah berhenti bergerak. Gedung-gedung tinggi menembus langit, mobil-mobil listrik berseliweran nyaris tanpa suara, dan manusia-manusia berseragam sibuk mengejar waktu.
Satu sosok asing turun dari bus antarkota. Wajahnya bersih, rambut diikat ke belakang, mata tajam, tubuh tegap namun tenang. Di punggungnya hanya ada satu ransel kain tua, dan di jarinya… cincin batu cendana hitam.
Dialah: Satria Wibawa.
Bukan lagi anak konglomerat yang bingung arah. Tapi pendekar yang siap menyusuri jejak masa lalu.
Lorong-lorong Kota dan Bayangan Dulu. Satria berjalan menyusuri kota. Ia tak mengenakan baju silat. Ia tampak seperti pria muda biasa: jeans hitam pudar, kemeja abu-abu, sepatu usang. Tapi matanya menatap segala sudut kota dengan kewaspadaan seorang pendekar.
Ia melewati halte tempat dulu ia menunggu jemputan sekolah. Melewati rumah makan yang pernah ia kunjungi bersama mendiang ibunya. Lalu… di kejauhan, ia melihat Widyawati Corp—gedung menjulang kaca biru di jantung Cendana.
Sarah Widyawati. Ia masih di sana. Masih berdiri di atas kerajaan kosmetik dan fashion warisan ayahnya—kerajaan yang dibangun di atas kebohongan dan darah.
Tapi Satria tidak langsung mendekat. Ia tahu: dendam yang matang tidak pernah dibakar dalam terburu-buru.
Pusat Perbelanjaan Cendana Square. Sore Hari. Satria duduk di bangku dekat air mancur pusat perbelanjaan terbesar di kota. Ia sedang mengamati arus manusia: keluarga, pekerja kantoran, pelajar, turis, dan… seseorang menarik perhatiannya.
Seorang gadis muda, sederhana tapi menawan. Rambutnya dikuncir rapi, mengenakan blouse putih dan celana kain longgar, sedang membawa beberapa kantong belanja dan berjalan cepat menuju tempat parkir.
Tiba-tiba—Sret! Seorang pria berbadan kurus dan cekatan menyambar tas kecil dari tangan si gadis.
“Hei!” teriak gadis itu, nyaris kehilangan keseimbangan.
Pria itu lari secepat kilat, membelah kerumunan. Orang-orang hanya memandang tanpa berniat membantu. Tapi Satria berdiri. Tenang. Kakinya bergerak ringan. Ia mengejar, tapi bukan dengan kecepatan panik—ia melangkah menggunakan teknik Jejak Timur.
Satu lompatan. Dua ayunan. Dalam tiga detik, ia sudah di depan si pencopet.
“Berhenti,” ucapnya tenang.
Pencopet itu tertawa. “Siapa kau? Superhero?”
“Bukan,” jawab Satria sambil mencondongkan tubuh. “Aku cuma orang yang kebetulan punya kaki lebih cepat darimu.”
Dengan satu gerakan lembut tapi presisi, Satria menekuk tangan pencopet, merebut tas, dan menekannya ke tanah tanpa membuat keributan.
Orang-orang mulai berkerumun. Pencopet meringis. Satria berdiri, menoleh ke gadis yang kehilangan tas.
Pertemuan Takdir. Gadis itu datang menghampiri. Nafasnya terengah, wajahnya terkejut.
“Kamu…” Ia mengangkat alis. “Kamu tahu dia mau ke mana?”
Satria mengangkat tas kecil itu dan menyerahkannya. “Biasanya orang takut. Tapi kamu berlari.”
Gadis itu tersenyum, kikuk. “Aku Shinta. Shinta Chantika.”
Satria sedikit membungkuk. “Satria.”
Shinta menatap matanya sejenak, lalu menoleh ke pencopet. “Dia akan diproses?”
“Sudah aku rekam, dan aku kirimkan ke keamanan mal,” jawab Satria santai. “Dia tidak akan lolos.”
Shinta masih menatapnya dengan ekspresi bercampur: penasaran, kagum, curiga. Lalu ia tersenyum lagi.
“Kamu… kerja di sini?”
Satria menggeleng. “Baru tiba hari ini. Cari pekerjaan.”
Shinta berpikir sejenak. “Kau bisa bela diri?”
“Sedikit.”
“Punya waktu besok?”
“Bisa diatur.”
Shinta tersenyum kecil. “Datanglah ke kantor pusat Widyawati Corp. Lantai 27. Bilang saja… Shinta yang menyuruh.”
Senja kembali turun. Kota Cendana menyalakan lampu-lampu temaram. Di antara riuh jalan dan sorotan lampu toko, dua orang yang tak tahu masa lalu satu sama lain… baru saja menulis halaman pertama sebuah cerita besar.
Bersambung ke Episode 8: Siapa Shinta Chantika?…