“Ada Bapak?,” tanya kami pada Brigadir Polisi Satu Saharuddin pada satu waktu di Poso. Kami adalah saya dan Syamsuddin Tobone, koresponden SCTV, sedangkan ‘Bapak’ yang kami tanyakan itu adalah Rudy Sufahriadi, perwira berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi. Ia adalah Kepala Kepolisian Resor Poso. Adapun Saharuddin, adalah ajudan Kapolres Rudy yang wajahnya sangar, karena baret melintang di pipinya. Ia sangar tapi lembut hatinya, bisa jadi karena Rudy sendiri terlihat tegas, tapi sungguh menyenangkan bisa mengenalnya lebih dekat.

Lalu, Saharuddin yang luka wajahnya karena ledakan proyektil saat membersihkan senjatanya itu, tanpa senyum tapi ramah langsung bilang, “Bapak di dalam, tidak ada tamunya, tapi masih mengaji.”

Ya, Rudy memang seorang perwira polisi religius. Dalam kondisi apapun, ia selalu menyempatkan diri mengaji. Di atas meja kerjanya, bila saya tak salah ingat ada dua mushaf Alquran. Satu yang kecil, seukuran saku dan satunya yang besar.

Kami tentu saja menunggunya selesai mengaji, tapi biasanya Saharuddin menyilahkan kami masuk saja. Sembari menunggu, kami biasa minum teh kotak dan makan camilan di meja tamu di ruang kerjanya. Senyumnya, biasanya langsung merekah saat kami berdua datang, sebab saban hari kami mengganggunya seperti itu.

Bila sudah selesai, ia pun bertanya pada kami, “sudah makan?” “Kalau belum, sarapan dulu di kantin, bilang saja, Kapolres yang bayar.”

Demikianlah di kurun waktu 2005 – 2007 itu. Sebagai perwira, ia tak pelit informasi. Saban ada peristiwa penting, kami mendatanginya, dan jawabannya selalu lengkap dan rinci. Seperti itulah perkenalan awal kami dengan Rudy, yang belakang kami tahu dijuluki Rudy Gajah. Saya belum sempat bertanya, mengapa ia mendapat julukan itu. Mungkin karena badannya yang tinggi dan kekar.

Peristiwa 11 dan 22 Januari 2007 di Poso melambungkan namanya. Saat itu, ia berhadapan langsung dalam penyergapan masif ke halaman depan kelompok sipil bersenjata, di Tanah Runtuh, Gebangrejo, Poso Kota. Kelompok itu terceraiberai. (Kisah tentang ini dapat Anda baca di: Ini Sejarah Asli Tanah Runtuh di Gebangrejo, Poso Dari Mana Kisah DPO Teroris Bermula dan Begini Sejarah Sebenarnya Awal Mula DPO Terorisme Poso)

Yang unik saat itu, ia tak memakai seragam Brimob atau Polisi pada umumnya, ia memakai gamis berwarna hitam lengkap dengan celana cingkrang. Ia memakai kopiah hitam dan menenteng Steyr AUG, senapan serbu andalan Densus 88.

Kami masih sering menyapanya saat ia ditarik kembali ke Jakarta menjadi Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Setelahnya tak pernah lagi sempat kami bertemu. Barulah bertemu kembali saat ia turun ke Poso, memimpin operasi pencarian atas pelaku pembunuhan Briptu Andi Sapa, anggota Buser Polres Poso, dan Brigadir Sudirman, Kanit Pengumpulan Bahan Keterangan Polsek Poso Pesisir, pada 2012. Saat itu jabatannya adalah Direktur Pembinaan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Saya mengingatnya saat memimpin apel di Kantor Kepolisian Resor Poso, “mulai hari ini kita boleh mendengar lagi adalah anggota yang terbunuh. Ini sudah cukup. Kita harus mengejar pelakunya sampai ditemukan.”

Ia memimpin apel anggota Satuan Brigade Mobil Daerah Sulteng. Tentu saja, karena sudah mengenal Rudy, para peserta apel menyimak dengan seksama arahannya. Dan bagi anggota Brimob, Rudy adalah komandan dan kakak asuh mereka. Perwira yang tampan ini, setamat dari Akademi Kepolisian 1988, memang langsung menjadi Komandan Peleton Brimob Mabes Polri Kompi 516 yang bermarkas di Kelapa Dua, Bogor, Jawa Barat. Hampir sebagian besar masa kedinasannya berada di korps elit Kepolisian itu, termasuk Gegana dan Detasemen Khusus Antiteror 88.

Pada 1 Maret 2016, perwira kelahiran Cimahi, Jawa Barat, 23 Agustus 1965 mengemban amanah sebagai Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah. Pangkatnya sudah Brigadir Jenderal Polisi. Caranya menangani media dan jurnalis, tak berubah. Manajemen informasinya teratur. Anggota Bidang Humas Polda Sulteng yang memang akrab dengan kalangan media, tinggal mengimbangi.

Namun, harus saya akui, cuma sesekali saya bertemu saat ia menjadi Kapolda Sulteng, sementara Syamsuddin terus menjalin hubungan. Saya hanya sesekali bertegur sapa melalui Whatsapp.

Pada 2018, ia menjadi Kepala Korps Brimob Polri. Lalu pada 2019 ia ditarik Asisten Operasi Kapolri, dan kemudian diserahi tanggung jawab memimpin Polda Jabar pada 2019. Sayangnya, karena dianggap lalai, pada 16 November 2020, ia ditarik kembali ke Mabes Polri.

Sampai kemudian, saat mengikuti upacara bendera yang digelar Satuan Tugas Madago Raya dalam rangka peringatan hari ulang tahun ke-76, Proklamasi Kemerdekaan RI di Manggalapi, Sigi, pada 17 Agustus 2021, kami; Saya, Rangga Musabar, reporter Antara dan Aldrim Thalara, koresponden Kompas TV menyebut namanya.

Saya menebak, setelah Inspektur Jenderal Polisi Abdul Rakhman Baso pensiun, maka Rudy yang sudah berpangkat bintang jenderal dua akan kembali menjadi Kapolda Sulteng. Alas pikir saya adalah karena remaja yang semasa sekolah menengah ini dianggap bengal karena suka melempari atap rumah orang itu, paling berpengalaman dalam perang melawan teroris.

Dan terbukti, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, M.Si, pada Selasa, 31 Agustus 2021, melantik Rudy Sufahriadi sebagai Kapolda Sulawesi Tengah.

Selamat Datang, Jenderal. Selamat datang kembali ke Bumi Tadulako. Saya pribadi yakin upaya penuntasan kasus terorisme Poso akan segera selesai. Syamsuddin Tobone yang saya hubungi pun yakin. Baik saya, maupun Syamsuddin percaya, sinergitas yang padu antara TNI dan Polri yang sudah ditunjukkan Irjen Pol Abdul Rakhman Baso dan Komandan Korem 132 Tadulako Brigjen TNI Farid Makruf akan terus terawat dengan baik.

Sekali lagi, Selamat Datang Kembali, Jenderal. ***