Kabut masih menggantung di pucuk pepohonan. Tapi pohon-pohon di sini tak lagi tinggi. Dulunya hampir menjangkau cungkup langit. Kini tak lebih dari semeter dua. Orang-orang dari kota memberikan warga kampung ini gergaji mesin. Tapi itu tak diberikan percuma. Mereka harus mencicilnya. Lalu mereka beramai-ramai menebang pohon. Mereka membalak. Setelah itu dijual dan dibawa ke kota. Bukit jadi gundul. Banjir datang saban waktu. Tapi orang-orang sekampung tak lagi peduli.
Sepagi ini, para perempuan sudah bergegas ke bonde. Tak jauh. Cuma di belakang kampung. Rupa-rupa yang mereka tanam. Ada kulagoa, tamate, lehune dan juga pare.
Bapak-bapaknya mungkin masih tertidur. Sebab semalam mereka malangu di warung kampung. Habis sudah uang mereka menjual balak ke juragan yang datang di kampung. Hasilnya pun dipotong dengan cicilan gergaji mesin.
Fachry Ahmad bergegas mengikuti serombongan ibu-ibu yang hendak ke kebunnya di seberang sungai. Air sungai cuma sebetis.
“Saya izin ikut ke kebun ya, bu,” pintanya.
Perempuan-perempuan itu tak menjawabnya. Mereka cuma tersenyum. Lelaki muda itu pun mengikuti mereka. Katanya, ia ingin melihat bagaimana mereka mengolah tanahnya.
Harum kemangi yang ditanam menjadi pagar kebun menyergap hidung. Fachry menyukai wanginya. Ibunya suka mencampurkan kemangi di masakannya. Utamanya ikan. Kata ibu, itu untuk mengurangi aroma amis.
Puas melihat para towawine itu berkebun, Fachry menyusuri sungai. Sepertinya kampung ini berdiri di hulu sungai. Tak kepalang indahnya. Ada air terjun semeter dua membentang di depan mata saya. Tiba-tiba telinganya menangkap suara perempuan muda menyanyi. Suaranya merdu. Ia membelakangi Fachry. Dia tentu tak tahu apa yang dinyanyikan. Sebab perempuan itu menyanyikan lagu daerah setempat. Belakangan barulah dia tahu, lagunya berjudul, Betue I Langi, bintang-bintang di langit.
Mereka pun berkenalan. Gadis itu percaya diri. Sebab ia mandi dengan sarung palaekat yang membungkus badannya, ia membalas sapaan Fachry tanpa malu-malu. Hidungnya bangir. Rambutnya menghitam sebahu. Kulitnya putih susu.
“Nama saya Zinnia. Kata bapak itu nama pemberian seorang pendeta dari Belanda yang pernah datang ke kampung,” kata dia sembari terseyum simpul.
Dia bilang sengaja menjelaskan namanya itu supaya tak muncul lagi pertanyaan berikutnya. Lalu ia pun tertawa lepas.
Kata dia lagi, itu nama bunga yang banyak tumbuh di pekarangan warga di kampungnya. Rupanya Zinnia kuliah di kota. Dia calon pendeta. Mengikuti jejak bapaknya.
Anak-anak di sini banyak yang kuliah di kota. Itulah mengapa tak banyak pemuda yang ia temui setelah beberapa hari di sini. Nantilah saat liburan mereka pulang.
Kata Zinnia, semenjak banyak anak-anak muda yang sekolah di kota, kebiasaan mabuk-mabukkan hampir tak ada lagi. Hanya sesekali ada kabar, mereka mabuk-mabukan. Itu pun di saat pesta atau padungku. Minuman keras mereka bernama unik, cap tikus. Itu olahan minuman beralkohol dari saguer atau nira enau yang disuling secara tradisional.
Cara Zinnia bertutur sungguh menarik perhatian. Pasti tak pernah bosan didengar. Gingsulnya menambah rupawan wajahnya. Gadis ini benar-benar dianugerahi kecantikan alami.
Pendek kata sampai Zinnia selesai mandi dan bermain di bawah limpahan air terjun kecil itu, Fachry tak bosan mendengar tuturan gadis ini. Ia sudah jatuh hati.
Pantaslah orang-orang bilang, gadis Tampo Lore, jajaran perkampungan di dataran tinggi itu, cantik dan menawan. Fachry sudah membuktikannya. Bahkan ia salah mengira, menyangka mereka orang China atau gadis Manado. Warga di kampung Zinnia menyebut wilayah itu sebagai Lembah Behoa. Wilayah ini berada di Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Alamnya indah memesona. Perempuan-perempuannya pun elok rupanya. Sayangnya, Poso lebih dikenal dengan terorisme daripada itu. Kampung mereka menjadi tempat persembunyian kelompok teroris sekian lama.
Fachry sendiri adalah jurnalis yang mengikuti Tim Ekskavasi Megalith. Kampung Zinnia memang kaya dengan peninggalan zaman batu yang kaya itu. Usia rata-rata tinggalan megalit di sini antara 2.500 – 4.500 tahun Sebelum Masehi.
Kampung Zinnia rupanya tak jauh dari kebun-kebun yang ia datangi tadi. Setelah menemaninya hingga ke Tambi, Facry pun pamit. Sebab banyak yang masih ingin dilihatnya sepanjang jalan, Fachry baru sampai di perkampungan menjelang senja.
Malam hari ini, tak banyak yang ia kerjakan. Mereka mendapat jatah liburan beberapa hari. Sejumlah anggota tim ekskavasi harus turun ke Ibu Kota Provinsi untuk mengurusi hal-hal teknis administratif. Fachry memilih tetap di sini. Ia sudah beberapa hari menumpang tidur di rumah penduduk.
Lelaki paruh baya yang dia tinggali rumahnya disapa Uma i Alimuru. Itu artinya bapak dari Alimuru. Anak lelakinya sekolah calon pendeta di Jawa Tengah. Ia bangga bila bercerita tentang anaknya. Namanya Alimuru, tapi oleh Pendeta yang membawanya ke Jawa ditambahi Richard. Alimuru sendiri berarti pusaran angin. Sedang Richard merujuk pada nama salah seorang Raja Inggris yang berjuluk Richard Sang Hati Singa. Raja yang terkenal itu adalah pemimpin Perang Salib. Maka jadilah nama anak lelaki Uma itu; Richard Alimuru.
Lalu Fachry pun bercerita soal pertemuannya dengan Zinnia. Uma bertanya seperti apa gadis yang ditemuinya itu. Tapi belum lagi ia menyambung kisahnya, Uma langsung berseru dengan keras, “Oh, Pue.”
Fachry pun terkejut. Dan bertanya mengapa Uma menyelanya dengan keras.
Setelah tenang barulah Uma bercerita. Zinnia itu adalah calon jodoh Alimuru. Mereka dijodohkan dari kecil. Ia meninggal 15 tahun lalu karena wabah yang menyerang kampung itu. Jauhnya tempat pengobatan ke kota, membuat nyawanya tak tertolong. Zinnia meninggal dalam perawatan seadanya.
Zinnia tinggal dengan bapaknya, seorang pendeta. Pendeta itu menduda setelah istrinya meninggal karena melahirkan. `Ia membesarkan Zinnia sendiri. Pendeta itu meninggal setahun kemudian setelah anak gadis kesayangannya itu meninggal. Tak mampu ia memendam duka lara.
Fachry pun terhenyak. Sosok gadis yang sudah membuatnya jatuh hati itu rupanya telah meninggal dunia belasan tahun lalu. Lalu siapakah yang ditemuinya siang tadi? ***
Keterangan dalam Bahasa Napu:
Padungku Pesta syukur panen
Kulagoa (Cabe Rawit)
Tamate (Tomat)
Lehune (Bawang)
Pare (Padi)
Towawine (Perempuan)
Bonde (Kebun)
Malangu (Mabuk)
Tambi (Rumah khas Lembah Behoa)
Oh, Pue (Oh, Tuhan)