Catatan: Jafar Bua*
Dulu di paruh kedua 1990-an, awal saya aktif di meja redaksi media umum, Almarhum Mohammad Rafiq Yahya – Redakur Pelaksana Media Alkhairaat – selalu bilang: “Kita ini bukan tukang gosip. Tugas kita memberitakan fakta, bukan menjatuhkan martabat orang lain.” Kalimat itu kembali terngiang saat membaca berita “Istri Bos di Morut Main Kuda-Kudaan dengan Bawahan”.
Sebagai orang yang pernah makan nasi dari profesi ini, saya malu dan prihatin. Dulu verifikasi, sekarang asal cepat klik.
Di tahun-tahun itu – dan mestinya harus dilakukan hingga kini – sebelum memuat berita sensitif, kami biasa diminta redaktur: mewawancarai minimal tiga sumber, meminta bukti dokumen pendukung, dan mengonfirmasi ke semua pihak terkait
Tapi berita “kuda-kudaan itu? Cuma modal “sumber terpercaya kami” yang entah siapa. Ini bukan jurnalisme, ini judi. Kalau salah, yang kena getahnya bukan cuma narasumber, tapi kredibilitas media itu sendiri.
Berita saya pernah tak bisa tayang karena nekat mau menulis berita plagiasi karya tulis ilmiah seseorang, karena satu sumbernya enggan dan sangat sulit diverifikasi. Kini? Berita gosip tanpa bukti bisa tayang dalam hitungan detik. Apalagi ditambah dengan menggunakan ChatGPT atau deepseek. Bikin berita jadi selaju kilat.
Bahasa yang dipakai media yang hampir seperti koran kuning ini, mungkin saja bikin senior-senior saya berguling gelisah di kuburnya.
Almarhum Rafiq Yahya, yang wartawan cum akademisi itu, selalu mengingatkan, “menulis itu ibadah.”
Tapi lihatlah pilihan kata di berita ini: “Main kuda-kudaan” (bahasa pasar), “ketahuan mesum”* (judul clickbait).dan penyebutan profesi “artis” yang tidak relevan.
Dulu di kantor berita tempat saya bekerja kemudian setelah MAL – berpolitik.com, Forum Keadilan, dan detik.com – redaktur akan marah besar kalau ada reporter menulis seperti ini. Apalagi misalnya memakai sebutan; “menurut sumber yang terpercaya.”
Sekarang? Itu justru jadi andalan untuk mengejar traffic.
Kata mereka privasi itu adalah jurnalisme zaman dulu. Saya masih ingat betul kasus pada 2005 ketika sebuah media besar kena tegur keras Dewan Pers karena memuat foto korban perkosaan tanpa sensor. Sekarang?
Media seenaknya menyebar: Detail lokasi kejadian, jabatan-jabatan spesifik, bahkan ciri-ciri fisik.
Padahal di wilayah kecil seperti Morowali Utara dengan informasi segitu, warga bisa langsung menebak siapa yang dimaksud. Ini namanya bukan menyamarkan, tapi menyembunyikan dengan telunjuk.
Dulu ada “tembok merah” di kantor kami—daftar berita yang tidak boleh dimuat: Gosip tanpa bukti, berita yang merendahkan martabat dan isu SARA.
Sekarang? Justru konten seperti itu yang paling laku. Saat masih menjadi Produser Lapangan CNN Indonesia, saya sering mendapat curhat dari kawan-kawan kontributor – yang gajinya bergantung berita: “Bang sekarang berita sulit tayang. Redaksi minta yang ‘panas’, yang bikin emosi, yang bombastis.” Perilaku “pejabat” redaksi macam itu mendorong praktik jurnalisme asal tayang ini.
Nah, bagi kawan-kawan yang masih berkecimpung di dunia jurnalistik: Jangan gadaikan integritas demi klik – traffic hari ini bisa hilang besok, tapi nama baik akan terus melekat, ingat kaidah profesi kita, memberitakan fakta, bukan fiksi, dan terakhir bacalah lagi Kode Etik Jurnalistik, itu bukan pajangan, tapi kompas.
Kepada pembaca, saya ingin bilang: Kritiklah berita-berita seperti ini.Sebab media yang baik lahir dari masyarakat yang kritis.
*Penulis adalah Tenaga Ahli Anggota DPR RI dan mantan Produser Lapangan CNN Indonesia.