Ada yang ganjil namun menarik dalam kunjungan sejumlah siswa Didik Sekolah Staf dan Pimpinan Menengah (Serdik ) Polri ke rumah Joko Widodo, mantan presiden yang kini kembali menjadi warga biasa di kampung halamannya, Solo. Bukan soal siapa yang datang, atau apa yang dibicarakan. Tapi pada waktu, tempat, dan simbol yang diam-diam membentuk tafsir yang lebih dalam dari sekadar silaturahmi.

bertanya: kenapa mereka tak ke lebih dulu? Bukankah beliau yang kini menjabat presiden? Kenapa justru ke Jokowi, yang secara resmi sudah melepas kekuasaan?

Sontak, muncul lagi istilah yang sempat tenar di masa transisi: matahari kembar. Sebuah metafora lama yang hidup kembali di tengah riuh politik baru.

Jokowi sendiri bersikap ringan. Katanya, bukan cuma Sespimmen yang datang. Para Nusantara juga pernah datang. Taruna Angkatan Laut pun pernah mampir. Mereka semua bertanya soal kepemimpinan, soal masa depan. Dan ia menjawab sebisanya. Yang ia tahu, ia bagi. Yang tidak, ia diamkan.

Tapi dunia publik jarang bekerja setenang itu. Dunia publik senang bertanya balik: kenapa sekarang? Kenapa direkam? Kenapa videonya dihapus? Dan kenapa, dalam suasana yang seharusnya informal, ada begitu banyak pesan yang terasa formal?

Simbol, seperti biasa, lebih kuat daripada kata-kata.

Dalam sejarah Eropa abad pertengahan, kita mengenal Skisma Besar – ketika dua paus mengklaim diri sebagai wakil Tuhan di bumi. Satu tinggal di Roma, satu lagi di Avignon, Prancis. Umat terbelah. Bukan karena iman, tapi karena loyalitas. Karena simbol.

Sejarah itu bukan hendak kita ulang. Tapi gejalanya familiar. Politik kita sering mengulang puisi lama dalam bentuk yang baru.

Kita tahu Jokowi sudah tidak berkuasa. Tapi langkah kaki para perwira, para menteri, dan bahkan para taruna yang menuju rumahnya justru menunjukkan bahwa pengaruh tidak berhenti saat jabatan berakhir. Ada magnet yang masih bekerja. Entah karena hormat. Entah karena rindu. Entah karena masih ada yang percaya: dialah cahaya.

Menteri Sekretarus Negara, Prasetyo Hadi, yang notabene tangan kanan Presiden Prabowo, mencoba menenangkan. Ini silaturahmi, katanya. Tidak ada yang perlu dicurigai. Prabowo pun tak mempermasalahkan. Dan kita percaya, semangat Lebaran memang memberi ruang untuk saling sapa, saling maaf. Tapi tetap saja, politik tidak mengenal libur. Bahkan saat Lebaran, langkah bisa dibaca sebagai sinyal.

Seorang netizen menulis: “Saya bersyukur punya dua presiden,” lengkap dengan emoji tertawa. Mungkin bercanda, tapi mungkin juga menyimpan kebenaran kecil: di negeri ini, batas antara formal dan informal kadang begitu kabur. Antara yang telah selesai dan yang belum benar-benar usai.

Dulu, dalam Divine Comedy, Dante menggambarkan para pemimpin yang terus dibayangi oleh masa lalu mereka. Bahkan ketika mereka sudah mati, bayangan kekuasaan masih membayangi jiwa mereka. Mungkin karena dalam kekuasaan, yang abadi bukanlah jabatan, tapi kenangan tentang pengaruh.

Apakah Jokowi sedang menjadi semacam tokoh “Janus”—dewa bermuka dua dalam mitologi Romawi? Satu wajah menoleh ke masa lalu, satu lagi mengintip ke masa depan?

Mungkin, ya. Ia jadi penanda transisi. Ia bukan lagi penguasa, tapi juga belum sepenuhnya dilepaskan dari harapan publik.

Dan ini bukan semata soal Jokowi. Tapi soal kita. Soal bagaimana masyarakat kita – dengan segala dinamika dan kerumitannya – masih menggantungkan harapan pada tokoh yang pernah memimpin. Bahwa dalam situasi tak menentu, kita cenderung mencari yang pernah membuat kita merasa aman.

Dalam masyarakat yang dewasa secara demokratis, kepemimpinan adalah giliran, bukan garis keturunan. Tapi dalam masyarakat yang masih tumbuh, kepemimpinan sering dianggap sebagai aura, bukan hanya struktur. Maka, meski jabatan berpindah, cahaya tidak selalu ikut.

Yang menarik dari kejadian ini bukan sekadar siapa bertemu siapa. Tapi bagaimana pertemuan itu menjadi cerita. Bagaimana publik, media, bahkan warganet, mengolahnya jadi tafsir politik. Di sinilah letak daya: seorang mantan bisa tetap menjadi poros, karena ingatan publik lebih panjang dari masa jabatan.

Di langit yang sama, dua matahari memang tidak mungkin bersinar bersama. Tapi di langit politik, dua pusat cahaya kadang justru menjadi kenyataan yang tak terhindarkan. Satu menyinari dari istana, satu lagi dari rumah pribadi di Solo.

Mungkin kita memang sedang hidup dalam masa transisi yang belum selesai. Tapi sejarah mengajarkan: yang penting bukan hanya siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tapi juga siapa yang masih didengarkan.

Dan sejauh ini, Jokowi masih didengarkan. Suka tidak suka, itulah kenyataannya. ***

Jafar G Bua (Tenaga Ahli Anggota DPR RI, Alumni Asia Journalisme Fellowship – AJF – Temasek Foundation, Singapura, 2019)