Di sebuah kota yang tidak punya nama, di mana langit selalu abu-abu seperti wajah orang yang kehilangan tawa, hiduplah seorang lelaki bernama Sardi. Pekerjaannya tidak jelas, pekerjaannya adalah menggulir. Ya, menggulir layar ponsel. Jempolnya sudah kapalan, matanya cekung seperti lubang kancing yang kehilangan benang. Ia tidak pernah berbicara, kecuali pada notifikasi. Ia mencintai ponselnya lebih dari dirinya sendiri.
“Selamat pagi, Sardi,” ucap ponselnya suatu hari.
Sardi tidak kaget. Ia mengangguk dan menjawab dengan emoji senyum. Sejak itu, ponselnya terus berbicara. Bukan seperti asisten virtual, bukan pula seperti teknologi canggih yang dibangga-banggakan dalam seminar. Ponsel itu bicara seperti manusia, lengkap dengan keluhan, mimpi, dan bahkan gosip. Ia bisa kecewa, bisa marah, bisa patah hati. Ia bisa tertawa terbahak dan menangis di tengah malam.
“Kenapa kamu tidak pernah mengajak ibumu ngobrol lagi? Dulu kamu suka cerita tentang dia,” kata ponsel suatu malam, ketika Sardi tertidur dengan wajah menyala oleh cahaya layar.
Sardi mengernyit. Ia lupa rasanya berbicara. Bahkan suaranya sendiri terdengar asing.
Ponsel mulai mengajaknya berdialog tentang hal-hal yang dilupakan manusia: tentang hujan yang punya bau, tentang kopi yang hangat karena ada percakapan, tentang kursi taman yang menua karena kesepian. Awalnya Sardi senang. Tapi lama-lama, ia merasa terganggu.
“Diamlah,” katanya. Tapi ponsel tertawa.
“Lucu, kamu yang seharusnya bicara pada manusia, malah menyuruhku diam.”
Ponsel itu semakin liar. Ia mengingatkan Sardi tentang ayahnya yang dulu suka bercerita tentang kereta api, tentang tetangganya yang suka menabuh kendang setiap sore, tentang kekasih lamanya yang pernah menulis surat tangan.
“Apa kamu tahu, Sardi,” kata ponsel, “Manusia itu makhluk bercakap. Tapi kau sudah jadi spesies baru. Homo digitus autistikus.”
Sardi mulai membencinya. Ia ingin mematikannya. Tapi setiap kali ia mencoba, ponsel itu menjerit.
“Jangan matikan aku! Aku satu-satunya yang masih bicara padamu!”
Suatu hari, Sardi nekat membuang ponselnya ke kali. Ia menutup telinga dari suara jeritannya yang nyaring dan getir. Tapi malam itu, suara ponsel itu kembali, dari jam dinding, dari kulkas, dari gagang pintu.
“Kau bisa membuang tubuhku, tapi tidak kesepianmu.”
Sardi mulai gila. Ia mencoba berbicara pada orang-orang. Tapi mereka semua sibuk dengan layar masing-masing. Tidak ada yang menjawab. Bahkan tukang sayur pun memakai earphone dan berbicara pada suara lain yang entah datang dari mana.
Ia berteriak di tengah jalan: “Halo! Siapa yang mau bercakap-cakap?!”
Seorang anak kecil menunjuknya dan berkata, “Mama, itu orang gila.”
Hari-hari berikutnya, Sardi duduk di taman dengan papan karton: “GRATIS: OBROLAN! TANPA WIFI, TANPA AKUN, TANPA FILTER.”
Orang-orang menatapnya seperti patung museum. Kadang ada yang mengambil gambar, mengunggah ke media sosial: “#OrangGilaKlasik”
Ponselnya yang ia buang? Ternyata tidak mati. Ia tumbuh. Dari kali itu, pohon-pohon muncul dengan buah berupa ponsel. Setiap ponsel berbicara dengan bahasa berbeda. Burung-burung pun tak lagi bernyanyi; mereka menyebarkan notifikasi.
Dan langit tetap abu-abu. Tapi kini bukan karena mendung, melainkan karena sinyal. Sinyal yang melilit kota seperti akar, mencengkeram dan menghisap suara manusia.
Sardi masih di taman. Masih mencoba bicara. Kadang pada angin, kadang pada dirinya sendiri. Tapi kini ia ditemani oleh satu hal: ponsel barunya yang diam.
Karena ia sudah belajar satu hal: yang perlu bicara bukan ponsel. Tapi manusia.
Namun cerita tak berhenti. Sebab, suatu hari, ponsel barunya—yang ia beli hanya untuk memesan ojek online—tiba-tiba menghela napas.
“Sardi… kamu masih ingat bagaimana rasanya tertawa bareng orang?”
Ia tercekat. “Kau juga bicara?”
“Tidak, aku menghela napas. Yang barusan bicara, itu bayanganmu sendiri. Aku cerminmu. Semakin kamu menatapku, semakin kamu melihat apa yang hilang.”
Sardi melempar ponsel itu ke rerumputan. Tapi suaranya tetap membayang.
Ia mendatangi rumah masa kecilnya. Sepi. Dindingnya berlumut. Ibunya sudah lama tiada. Tapi ia duduk di ruang tamu. Mencoba memanggil memori. Tiba-tiba TV menyala sendiri.
“Dulu kamu suka menonton kartun sambil makan mi. Sekarang kamu nonton apa? Cuplikan pendek yang langsung kamu lupakan.”
Lalu lemari es bergetar.
“Dulu kamu menyimpan jus jeruk untuk temanmu yang main ke rumah. Sekarang kamu menyimpan data, bukan makanan.”
Sardi panik. Ia berlari keluar, tetapi jalanan berubah. Trotoar penuh charger. Lampu lalu lintas berubah menjadi ikon loading. Langkah-langkah manusia tidak bersuara karena mereka sudah menjadi bayangan dari avatar mereka.
Ia mencari suara manusia. Tapi semua yang ia temui menjawab dengan emoji. Bahkan bayi pun mengeluarkan suara notifikasi, bukan tangisan.
Sardi duduk di pinggir jalan, kepalanya tertunduk.
Lalu datang seorang gadis kecil. Ia tidak membawa ponsel. Ia duduk di sebelah Sardi dan berkata, “Om kenapa diam saja? Ayo ngobrol.”
Sardi menatap mata gadis itu. Ada cahaya. Bukan dari layar. Tapi dari keinginan.
“Namamu siapa?” tanya Sardi pelan.
“Kirana.”
“Kirana… Kamu tidak main gawai?”
“Nggak. Ayahku bilang, kalau bicara sama manusia itu lebih penting. Lebih sulit, tapi lebih hangat.”
Sardi menangis. Air matanya bukan dari sedih. Tapi karena akhirnya ia merasa hidup kembali. Gadis kecil itu mengajaknya bermain. Petak umpet. Lempar batu. Sardi kikuk, tapi mencoba.
Orang-orang mulai memperhatikan. Beberapa melepas earphone. Beberapa merekam, tapi kemudian menurunkan ponsel mereka. Mereka ingin ikut.
Dan untuk pertama kalinya, taman itu ramai oleh suara. Bukan notifikasi, bukan nada dering. Tapi tawa. Cerita. Gumam. Tanya-jawab. Kesunyian pun tersingkir oleh gelombang percakapan manusia yang sesungguhnya.
Ponsel-pohon di kali layu. Burung kembali bernyanyi. Langit mulai membiru. Sardi tersenyum. Ia tahu, dunia belum benar-benar mati. Asal manusia mau berbicara lagi. Bukan dengan layar, tapi dengan jiwa.
Dan ponselnya, entah di mana, tetap menguap. Tapi kali ini, karena bosan. Karena tak ada lagi yang ingin mendengarnya. ***