Musim semi datang ke Leiden dengan pelan. Bunga tulip mulai muncul di halaman belakang rumah van der Woude. Sara – dulu Sari – mengenakan gaun lembut warna biru pucat. Ia belajar menyeduh teh dengan susu, mengucapkan goede morgen dengan nada pelan, dan menyusun rambut Annelies sebelum sekolah.

Willem membelikannya kalung kecil dari emas tipis. “Untuk perempuan yang telah menghidupkan kembali hatiku,” bisiknya malam itu, saat mereka duduk di kursi kayu tua dekat perapian. Ia mencium jemarinya, lembut seperti seseorang menyembah kitab suci.

Namun tidak semua zeebaboe berakhir menjadi nyonya.

Namanya Lastri. Ia datang dengan kapal lain, SS Willem III, dua bulan setelah Sara menginjak daratan Eropa. Lastri juga muda, juga cantik. Tapi majikannya tidak seperti Willem.

Tuan Van Mook adalah saudagar tua, gemuk dan bau tembakau. Istrinya meninggal di kapal karena disentri. Ia butuh perempuan untuk mengurus kamar dan mencuci. Tapi yang ia inginkan lebih dari itu. Jauh lebih kotor dari itu.

Lastri dijanjikan pekerjaan tetap di Den Haag. Tapi sesampainya di darat, ia diserahkan pada seorang makelar perempuan Belanda tua, nyonya Bremmer, yang mengelola rumah bordil kelas bawah. Ia dipaksa melayani laki-laki mabuk, pelaut kesepian, bahkan pejabat yang suka menyamar datang malam hari.

Lastri menulis surat ke kampung:
“Aku tidak bisa pulang. Aku hanyalah bayangan di sini. Dunia mereka dingin dan aku tak punya tempat.”

Sara membaca surat itu dari tangan seorang teman pelayan asal Ambon yang ia temui di pasar. Matanya berkaca-kaca. “Kita datang dari laut yang sama… tapi tak semua perempuan berlabuh di pelukan yang selamat,” bisiknya pada diri sendiri.

Seminggu kemudian, kabar itu datang: Lastri ditemukan gantung diri di kamar kecil, tubuhnya membiru, rambutnya terurai seperti jerat. Ia meninggalkan cermin kecil retak, dan coretan dengan arang:

“Aku tidak ingin jadi tubuh tanpa nama.”

Setelahnya…

Sejak kematian Lastri, cerita aneh mulai terdengar dari pelaut-pelaut dan penumpang kapal yang menyeberang dari Batavia ke Belanda. Anak-anak kecil menangis di malam hari, menunjuk sudut kamar dan berkata mereka melihat “perempuan berambut panjang yang menangis sambil menyanyi lagu Jawa.”

Koki kapal bersumpah pernah melihat bayangan perempuan berjalan di geladak saat badai. Petugas kabin mendengar langkah kaki tanpa tubuh. Mereka menyebutnya spook van het oosten—hantu dari Timur.

Willem memeluk Sara suatu malam, saat ia terbangun dengan mimpi buruk.

“Kau gemetar,” katanya lembut.

“Dia datang padaku dalam mimpi,” ujar Sara. “Lastri. Ia bilang aku harus tetap hidup. Karena aku membawa kisah kami yang masih utuh.”

Willem mencium dahinya. “Kau bukan bayangan, Sara. Kau nyata. Kau milikku. Dan aku milikmu.”