Di jantung Pegunungan Tengah Papua, di antara kabut pagi Lembah Baliem dan suara burung cenderawasih yang bergema dari pepohonan raksasa, para lelaki dari suku Hubula—yang lebih dikenal sebagai Dani—masih mempertahankan sebuah warisan busana kuno: koteka.
Koteka bukan sekadar penutup tubuh. Ia adalah pernyataan identitas, penanda status sosial, dan simbol keterikatan mendalam antara manusia dan alam di Bumi Cenderawasih.
Dalam bahasa Mee, koteka berarti pakaian. Orang Dani menyebutnya holim. Namun koteka lebih dari sekadar arti kata: bentuk dan arahnya punya makna;
- Ujung melengkung ke depan (disebut kolo) hanya dipakai oleh Ap Kain, sang pemimpin konfederasi.
- Ujung menyamping (haliag) diperuntukkan bagi para panglima perang (Ap Menteg) atau tetua adat seperti Ap Ubalik.
- Bentuk lurus menandakan pemakainya adalah orang biasa.
Suku lain menafsirkan koteka dengan cara yang berbeda. Di tanah tinggi Yali, pelindung alat vital lelaki itu disebut humi, dibuat lebih panjang, seolah memperpanjang semangat lelaki. Di wilayah Lani di Tiom, dua buah labu disatukan membentuk kobeba, simbol kekuatan dan ketahanan.
“Bentuknya adalah bahasa visual,” ujar seorang tetua Dani yang masih menyulam kenangan perang suku dan panen ubi. “Tanpa mereka bicara pun, kita tahu siapa yang berdiri di hadapan kita.”
Banyak arkeolog percaya bahwa penggunaannya telah berlangsung sejak masa prasejarah. Di lanskap berbukit dan beriklim dingin, masyarakat dataran tinggi Papua menciptakan solusi praktis—labu yang mengering—sekaligus sakral, sebagai bagian dari sistem nilai yang mengikat komunitas.
Koteka dikenakan bukan untuk menarik perhatian, tetapi untuk menyatu dengan lingkungan. Ia lahir dari tanah, tumbuh di ladang, dan bertransformasi di atas api dapur tradisional.
Biasanya, koteka dibuat dari buah labu air (Lagenaria siceraria). Buah ini dikeringkan di atas perapian selama berminggu-minggu hingga mengeras, lalu diolah dengan mengeluarkan isinya dan membentuk lubang di salah satu ujungnya. Hasilnya ringan, kuat, dan tahan terhadap cuaca lembab pegunungan.
Namun tidak semua barang sakral ini berasal dari labu. Di suku Korowai, disebut khawisip, dibuat dari moncong burung taun-taun (Rhyticeros plicatus), sejenis enggang besar yang diburu secara khusus. Pemilihan bahan ini bukan hanya karena nilai estetika, tapi juga menunjukkan kedekatan spiritual dengan hewan hutan.
Operasi Koteka
Pada awal 1970-an, pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soeharto atau Pak Harto meluncurkan Operasi Koteka, sebuah kampanye untuk mengganti koteka dengan celana dan baju modern. Dalam pandangan penguasa saat itu, koteka dianggap simbol “ketertinggalan”.
Celana-celana dibagikan. Namun tanpa sabun dan pemahaman budaya dan kesehatan, pakaian itu tidak dicuci. Akibatnya, penyakit kulit merebak, dan penduduk kembali pada labu tua mereka—lebih sehat, lebih akrab.
Sebelumnya, pada 1950-an, para misionaris telah mencoba menyebarkan celana pendek di kalangan suku Dani. Tapi celana itu sering dipakai di atas koteka, menciptakan pemandangan unik antara dua dunia: modern dan tradisional.
Kini, buah labu kering istimewa itu jarang terlihat di jalan-jalan Wamena atau Jayapura. Anak-anak muda Papua mengenakan hoodie, jeans, dan sepatu sneakers. Namun di pedalaman dan dalam upacara adat, koteka masih muncul—berdampingan dengan tarian perang, nyanyian leluhur, dan asap dari batu panas pesta bakar batu.
Diperkirakan hanya 10% dari penduduk pegunungan Papua (kini wilayah Papua Pegunungan dan Papua Tengah) yang mengenakan koteka sebagai bagian dari kehidupan harian. Selebihnya, koteka tampil dalam festival budaya, museum, dan bahkan menjadi cenderamata. Namun nilainya tetap sakral.
Koteka adalah bukti bahwa busana bukan sekadar mode, tapi warisan spiritual, ekologis, dan sosial. Ia lahir dari kebijaksanaan ekologi masyarakat adat, dari tanaman yang ditanam dengan tangan sendiri hingga filosofi hidup yang diwariskan secara lisan selama ribuan tahun.
Ketika dunia bertanya: mengapa lelaki Papua memakainya? Jawabannya tak hanya tentang penutup tubuh. Ia tentang hubungan antara manusia, tanah, dan tradisi—hubungan yang bertahan meski angin modernisasi terus bertiup. ***