Hujan asam jatuh perlahan di Distrik Beta, menyisir jendela apartemen tua milik Rhea Serou. Lampu neon biru dari reklame toko senjata bekas memantul di lantai yang retak, menciptakan bayangan seperti air sungai yang mengalir di dinding.

Rhea duduk sendiri di lantai, di depan proyektor kenangan, sebuah mesin tua berbentuk oval dengan chip memori sekolah di sisinya. Butuh waktu seminggu untuk membongkar proteksi datanya, tapi malam ini, semua kerja kerasnya berbuah.

Layar holografik menyala. Rekaman bergerak. Kelas 7, Sekolah Equa Omega.

Anak-anak tertawa. Gadis kecil, dulu Rhea, berlari mengejar teman-temannya. Kamera bergeser ke pojok ruang. Seorang anak laki-laki duduk sendiri di kursi belakang. Rambut hitam, mata dalam, penuh sesuatu yang tak bisa dijelaskan: luka, mungkin. Atau masa depan yang terlalu gelap.

“Cael Vire,” gumam Rhea.

Ia memperbesar gambar. Citra buram, tapi garis wajahnya jelas. Sangat mirip siluet yang dilihatnya dua malam lalu, yang melayang dari atap ke atap, yang menembus pelabuhan, yang muncul dalam legenda urban kota: Nevara.

Jantung Rhea berdegup cepat. Ia menyentuh sisi wajah hologram, seakan bisa menembus waktu dan menyentuh kenangan.

“Apa yang terjadi padamu, Cael?”

Di markas polisi pusat Kota Omega, Komisaris Levan berdiri di depan layar interaktif besar. Sebuah peta kota terbentang di depannya, menunjukkan lokasi kejahatan dan pergerakan geng.

Asistennya, Mayor Rojin, masuk sambil membawa tablet.

“Sir, kami dapat sinyal sisa plasma cair dari Gudang 14. Tapi… drone kita tidak menangkap pergerakan apa pun.”

BACA INI JUGA:  Dekan FH Untad: Pembebasan Mahasiswa Langkah Bijak Cegah Unjuk Rasa Besar

Levan menyipitkan mata.

“Nevara lagi?”

Rojin mengangguk. “Dan ini yang lebih parah. Dua dari tiga tersangka yang tertangkap, pingsan, kehilangan semua ingatan jangka pendek. Seperti otaknya diseret ke masa kanak-kanak. Tim medis bilang efek senjata baru.”

Levan mendesah. “Ia meningkat… dan semakin brutal.”

Rojin menatapnya ragu. “Tapi sir… dia menyelamatkan lima bocah dari percobaan Vanta-X. Kita tak bisa menyangkal, ia membantu.”

Levan berbalik tajam. “Membantu? Kau tahu berapa banyak mayat yang ia tinggalkan?”

Ia terdiam sejenak. Giginya bergemeletuk karena dilema. Sejak Nevara muncul, kota mulai bergetar. Rakyat mulai percaya lagi pada sosok tak resmi, bukan pada lembaga. Dan itu mematikan, bahkan lebih dari Vanta-X.

“Pantau semua kamera kota. Termasuk apartemen anak saya.”

Di Distrik Beta, Rhea menghapus air matanya. Ia memutar ulang video lama berkali-kali, memastikan setiap garis wajah, setiap gerakan. Tak ada lagi keraguan. Cael Vire adalah Nevara. Tapi bagaimana bisa? Anak sekelas yang pendiam, yang dulu selalu membawa buku tentang fisika terapan dan cerita tentang kehancuran kota-kota kuno… kini berubah menjadi pemburu gelap dengan tubuh baja?

Ia membuka terminal komputernya, menyusup ke arsip sekolah Equa Omega. Data pribadi Cael Vire, hilang. Bahkan rekaman keluarganya sudah tidak ada. Tapi Rhea bukan gadis biasa. Ia putri komisaris. Ia pernah membobol sistem penjara virtual demi menyelamatkan seorang narapidana yang tak bersalah.

BACA INI JUGA:  Pasca Gempa, Polda Sulbar Gelar Trauma Healing untuk Warga

Ia membongkar firewall demi firewall… dan akhirnya menemukan sesuatu.

Rekaman lama tahun 3108.

Sebuah ledakan besar di Laboratorium Zona Selatan. Di laporan kepolisian: “Eksperimen OmegaLab gagal. Subjek anak-anak terluka. Sebagian besar tidak selamat. Satu nama disebut: Cael Vire.”

Rhea membeku.

Cael adalah subjek eksperimen.

Sementara itu, di ruang bawah tanah tersembunyi, Nevara (Cael) sedang memperbaiki sistem pada armor NOX. Lengannya masih nyeri, luka bakar dari pertempuran dengan Arkion belum sepenuhnya pulih. Tapi ia terus bekerja. Tak ada waktu untuk sembuh.

Dari konsol di depannya, data bocoran dari Gudang 14 berputar: grafik aliran logistik Vanta-X, jalur distribusi, dan satu nama muncul berkali-kali.

“Grahn Vervault.”

Wali Kota Omega.

Cael mengepalkan tinju.

“Ayahmu… ada di dalam semua ini, Rhea,” gumamnya. “Dan kau… akan terluka bila tahu segalanya.”

Ia membuka peti kecil. Di dalamnya, foto lama, Rhea dan dirinya, masih anak-anak. Potret yang ia selamatkan sebelum rumahnya terbakar saat eksperimen gagal. Waktu itu, semua yang ia tahu tentang dunia hanyalah dua hal: Rhea… dan kemarahan.

Di markas bawah tanah Iron Howl, Dr. Voro Sahl berdiri di depan tangki besar berisi cairan Vanta-X versi merah. Seorang anak laki-laki direndam dalam larutan, matanya terbuka, tapi kosong. Jiwanya dipisah paksa.

Seorang bawahan masuk.

“Tuan, distribusi Delta dihancurkan. Arkion… mati.”

Voro mengangguk. Tenang. Terlalu tenang.

“Bagus. Nevara mempercepat permainan.”

Ia menoleh, memperhatikan anak dalam tangki.

BACA INI JUGA:  Nevara: Harapan Terakhir Kota Omega (NOX)

“Versi berikutnya dari Vanta-X akan selesai. Kau tahu apa bedanya racun dan obat, Krel?”

Bawahan itu menggeleng.

“Cara dunia melihatnya,” jawab Voro. “Kita hanya butuh krisis cukup besar, dan racun akan dianggap keselamatan.”

Di apartemen Rhea, suara pintu berbunyi. Ia menyembunyikan semua datanya, memadamkan layar.

Levan masuk.

Mata mereka bertemu. Sunyi beberapa detik.

“Kau menyelidiki sesuatu?” tanya Levan perlahan.

Rhea mengangkat alis. “Kau mengawasi aku?”

Levan tak menjawab. Ia berjalan ke rak buku, melihat album foto. Matanya berhenti di satu bingkai: foto Rhea dan Cael saat sekolah. Sudah lama sekali.

“Cael Vire… dia mati, Rhea. Dalam ledakan OmegaLab.”

Rhea berdiri. Matanya penuh air.

“Atau… dia hidup. Dan membayar semuanya sendiri.”

Levan menatap anaknya. Dunia telah berubah, dan mereka yang tumbuh bersamanya sekarang sedang menggoyang fondasi lama.

Mungkin benar. Mungkin harapan datang bukan dari hukum. Tapi dari bayangan.

Di kejauhan, di puncak gedung stasiun OmegaNet, Nevara berdiri sendiri, menatap langit yang tak pernah terang. Di tangannya, chip memori lama. Video kenangan dari sekolah. Suara Rhea kecil terdengar samar:

“Kalau nanti kita besar, kamu mau jadi apa, Cael?”

“Aku? Aku mau jadi orang yang nggak dibutuhkan siapa pun. Tapi dibenci semua orang jahat.”

Ia tersenyum tipis di balik topeng bajanya.

“Dan sekarang… aku mulai mengerti apa maksudku sendiri.”

Bersambung ke Episode 4 – Iron Howl…