“Mas, tahu nggak bedanya saya sama ayam?”
Saya bingung. “Ayam apa?”
“Ayam kampung.”
“Tidak tahu.”
“Ayam kampung bangunnya agak siangan. Saya bangun duluan.”

Begitulah pembicaraan saya pagi itu dengan Pak Somad,
tukang pungut kardus yang sudah lima belas tahun
bekerja di jalur yang sama: pasar – bak sampah – gudang rongsokan – pulang.
Dia ketawa sambil nyunggi karung goni yang isinya lebih berat dari badannya.

“Saya ini bangun sebelum ayam, Mas.
Sebelum muadzin selesai utak-atik kabel.
Sebelum fajar selesai mandi.
Saya sudah di masjid. Dzikir, doa,
minta rezeki, minta kesehatan, minta anak-anak nggak sakit.”

Saya menelan ludah.
Karena di televisi tadi malam, ada orang berdasi bilang:
Orang miskin itu miskin karena malas.”

“Mas, kalau malas itu bentuknya seperti saya,
mungkin Tuhan sudah tidak isi lagi kepala manusia dengan otak sejak dulu,” kata Pak Somad sambil ketawa.
Ketawanya lebar, tapi matanya kering.

Dia cerita tentang pangeran minyak yang kerjanya cuma pindah dari kursi empuk ke kursi lebih empuk.
Tentang negeri jauh yang rakyatnya hidup santai karena negara memeluk mereka.
Tentang kita yang lautnya luas, tanahnya subur, tapi rakyatnya harus rebutan rezeki seperti rebutan diskon di supermarket.

“Mas,” katanya sambil mengikat tali karung,
“kalau ada orang bilang saya malas,
suruh dia ikut saya sehari.
Biar dia rasain:
makan cuma sekali, jalan belasan kilo,
pulang bawa uang pas-pasan dan bau yang nggak laku dijual.”

Kami tertawa lagi.
Bukan karena lucu,
tapi karena kalau tidak tertawa,
kami mungkin akan menangis.

Dan saya, tiba-tiba teringat Pasal 34 ayat 1 UUD 1945
Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.