Subuh sudah datang. Lamat-lamat suara adzan menelusup lewat jendela kamarnya yang terbuka lebar sejak malam tadi. Lelaki muda itu masih tekun di depan notebooknya.

Pekerjaannya belum selesai. Laporan mingguannya soal tumbuh kembang sel terorisme di Indonesia belum selesai. Sumber-sumber pentingnya dari kalangan mantan kombatan belum mau buka suara. Padahal itu akan menguatkan kisahnya.   

Ahmad Alghifary kian mengukuhkan diri sebagai jurnalis mumpuni. Sesekali ia menjadi mentor dalam pelbagai pelatihan jurnalistik di kampus dan lembaga lain. Tulisan-tulisannya makin bernas.

Pada 2007, ia mendapat fellowship ke Ohio University, di Athens, Ohio, Amerika Serikat. Ahmad menimba banyak ilmu sekaligus belajar bagaimana interaksi aneka ragam kelompok agama dan ras di sana. Ia mengambil kesimpulan bahwa toleransi di negara adidaya itu masihlah menjadi masalah. Demokrasi Amerika yang mereka banggakan baginya cuma lip service belaka.

Awal 2009 pada suatu malam yang gerah adalah titik balik dalam hidup Ahmad. Saat itu seorang perwira TNI Angkatan Darat menyambangi rumah kostnya di bilangan Jalan Kalibata Selatan, Jakarta Selatan. Ia diminta menjadi bagian dari operasi intelijen di daerah konflik Poso.

Ahmad ingat malam itu. Ia baru saja nyaris terlelap setelah beberapa malam sebelumnya ia harus begadang menyelesaikan laporannya. Pintu kamar kostnya diketuk orang. Spontan ia melihat jam dinding di atas meja kerjanya. Pukul 23.30 Waktu Indonesia Barat.

“Siapa ya, tengah malam begini datang bertamu,” guman Ahmad.

Dengan mata berat, ia membuka pintu. Di depannya berdiri seorang lelaki tegap berjaket krem.  

“Bapak mencari siapa? Mungkin bapak salah mengetuk pintu,” kata dia.

Bukannya menjawab, lelaki berwajah simpatik itu malah meminta Ahmad untuk masuk ke dalam rumah. Entah bagaimana lelaki yang biasanya skeptis itu menurut. Ia seperti terhipnotis.

Terkuaklah pangkal kisahnya, setelah tetamunya itu duduk di kursi depan meja kerjanya.