Gunung Biru, Tamanjeka, Poso Pesisir Utara pada suatu pagi yang sudah terik. Almanak menunjuk bulan kedua 2012. Santoso alias Abu Wardah dikelilingi pengawalnya tengah berada di wilayah yang mereka tetapkan sebagai sebagai Markaz Asykari, basis milisi. Ini juga sudah mereka tetapkan menjadi daerah tadrib, pelatihan militer untuk asykari.
Santoso terus menunggu kedatangan sejumlah kombatan, petempur dari Jawa, Sumatera dan Kalimantan yang sudah dihubungi untuk memperkuat Asykari di Poso. Itu setelah daerah ini mereka tetapkan sebagai qoidah aminah, daerah perjuangan sekaligus wilayah aman untuk asykari.
Ia masih mengingat penegasan Ustadz Yasin dan Abu Tholut, tokoh Jamaah Ansharu Tauhid bahwa sudah saatnya pembentukan asykari di Poso. Itu setelah basis mereka di Jantho, Nanggroe Aceh Darussalam dihancurkan Polisi.
“Tak boleh tidak kita harus membentuk asykari, laskar terlatih di sini. Ada sahabat-sahabat kita dari Moro dan Afghanistan yang siap melatih. Kita akan serahi mujahid di sini untuk memimpin asykari itu. Saya akan meminta restu Ustad Hamdan Rahim untuk itu, kalian persiapkan segala sesuatu,” kata Ustadz Yasin kepada Abu Tholut dan Santoso yang menemaninya makan malam di suatu tempat di Poso pada 2009 itu.
Ustad Yasin kemudian menjelaskan pelbagai hal untuk mempersiapkan pembentukan laskar itu.
Senjata yang mereka akan gunakan dipasok dari pejuang Moro di Philipina Selatan. Diselundupkan melalui laut melewati Kepulauan Sangihe lalu ke Bitung dan ke Parigi, Sulawesi Tengah.
“Jalur laut cenderung aman. Kita pun bisa menyembunyikan senjata di bawah jaring-jaring. Senjata AK-47 cenderung lebih tahan. Ada banyak pulau-pulau sepi di sekitar Bitung untuk menurunkan senjata dan membersihkannya di sana. Sisanya kita beli di sini,” kata lelaki berpenampilan lembut itu.
Abu Tholut dan Santoso tinggal mengiyakan. Santoso pun kemudian diberitahu bahwa dia akan menjadi Amir Asykari itu kelak.
Seperti biasanya, Santoso cenderung diam. Lelaki itu lebih banyak diam menyimak. Ia tak meledak-ledak. Tapi ada garis-garis dendam di wajahnya. Keluarganya memang banyak terbunuh pada kerusuhan Poso 2000 – 2001.
Bila sehari-hari Ustad Yasin berjualan minyak tanah dan kerap pula mengantarkan roti buatan istrinya ke kios-kios kecil, begitu pula adanya Santoso. Ia tetap bertukang dan menjajakan barang-barang kelontong. Ia memakai gerobak yang ditarik oleh sepeda motor Honda GL yang kerap mogok.
***
Setelah itu, Santoso pun mulai melatih kombatan lokal yang terikat secara emosional dengan konflik Poso. Pembentukan kelompok ini tak bisa pula dilepas dari rangkaian amuk sosial selama kurun waktu 1998-2000. Puluhan ribu orang meregang nyawa. Ratusan ribu rumah dan pemukiman luluh lantak. Ratusan ribu pengungsi terpaksa tinggal di barak-barak dan menyelamatkan diri di wilayah Sulawesi Tengah bahkan ke Jawa, Kalimantan dan Sumatera.
Pranata ekonomi dan sosial juga budaya benar-benar hancur lebur. Tak mudah mengembalikan kepercayaan khalayak ramai untuk kembali menata hidup mereka di Poso, di tanah kelahiran mereka sendiri. Apalagi sejak saat itu serangkaian aksi teror terus terjadi. Ada banyak kelompok. Ada banyak pula korbannya. Penembakan, peledakan bom dan penculikan di Poso dan Palu mewarnai pemberitaan media pasca ditekennya perjanjian Malino pada 2003. Pelakunya dengan mudah dikenal dan kemudian ditangkap aparat keamanan. Tapi seperti sel yang terus membelah, kelompok penebar teror ini terus berkembang.
Jamaah Islamiyah menjadi salah satu wadah yang mengumpulkan mereka. Mereka disatukan oleh kesamaan nasib. Keluarga mereka dibantai. Anak-anak terpisah dari ayah dan ibunya. Itu membuat mereka bertekad membalaskan dendamnya. Negara lambat menanganinya
Lalu Kepolisian tidak mau ambil risiko lagi. Pada 11 dan 22 Januari 2007, ribuan aparat Kepolisian menghancurkan basis Jamaah Islamiyah di Poso. Ribuan Polisi menyerang basis jaringan kelompok sipil bersenjata yang berafiliasi kepada JI di kelurahan Gebangrejo, Kecamatan Poso Kota. Sebanyak 60 orang ditangkap. Lalu sebanyak 15 orang yang diduga anggota kelompok sipil bersenjata itu tewas ditembak Polisi dan 2 polisi pun menjadi korban dalam operasi itu.
Polisi mengklaim selama kurun waktu 2005-2007, upaya-upaya penegakan hukum yang dilakukan mampu menghancurkan jejaring terorisme di Poso. Polisi menyebut selama 2008-2009 kelompok ini praktis lumpuh.
Akhirnya pada 2009 muncul gagasan Abu Tholut dengan Santoso, juga Ustadz Yasin membentuk Qoidah Aminah di Poso. Langkah awalnya adalah adalah tadrib, pelatihan tempur untuk membentuk asykari, laskar militer. Itulah yang menjadi cikalbakal kelompok Mujahiddin Indonesia Timur.
Jamaah Ansharu Tauhid di bawah Ustadz Yasin menjadi penyokong kelompok ini. Kemudian adapula sisa-sisa kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di bawah Sabar Subagyo alias Abu Autad Rawa. Santoso pun ditunjuk sebagai amir.
Kelompok sipil bersenjata yang berbasis di Poso, Sulawesi Tengah inilah yang kemudian melanjutkan cita cita mendirikan Negara Islam yang merupakan kelanjutan dari cita-cita kelompok lintas Tanzim Aceh yang gagal pada 2010 karena dihancurkan oleh Polisi. Mereka menjadikan Poso sebagai Qoidah Aminah, daerah persiapan pembentukan Negara Islam Indonesia.
Lalu pada Januari 2011, JAT pun membangun cabangnya di Poso. Ustadz Yasin diangkat sebagai Amir dan Santoso ditetapkan sebagai pimpinan asykari JAT