Lembayung sudah melukis langit senja. Bianglala sedari tadi merona merah. Irama debur ombak memecah pantai bak orkestra alam. Ia jadi pengiring mentari yang pulang. Dan kaki gadis berambut sebahu itu pelan-pelan menyibak pecahan ombak di tepi Pantai Manakarra.

Sedari tadi, Ahmad Alghifary membidikan kameranya ke arah gadis itu. Sudah puluhan frame di kamera digitalnya berisi sosok gadis itu. Kamera Canon dengan lensa 18 – 300 milimeternya bisa menangkap sosok gadis itu. Hasilnya masih jernih.

“Bang, kalau ngambil foto orang lain harus izin loh,” teriakan gadis itu membuatnya tersentak.

Ahmad Alghifary gelagapan. Ia diam seribu basa. Tapi sebenarnya bukan karena teriakannya itu, ia justru terpana. Gadis itu sungguh cantik mempesona. Bibirnya ranum. Hidungny bangir. Alisnya bak semut beriring. 

Ia memandang Ahmad lalu tertawa lepas. Ia sempat melihat gugupnya lelaki dengan kaus hitam dan celana lapangan berwarna krem itu. 

“Tenang, Bang. Saya tak marah. Kawan-kawan di kampus dulu memang suka mengambil fotoku diam-diam, persis dirimu hari ini,” kata dia.

Ia lalu memperkenalkan namanya. 

“Saya Sari Bulan, Bang,” ujarnya sambil mengulur tangan. 

“Saya Ahmad Alghifary. Saya baru tiba di kota ini tiga hari lalu,” balas lelaki itu.