Pagi dengan terik yang sudah membakar. Ahmad Alghifary usai meneguk tetes terakhir teh manisnya. Ia baru saja sarapan setengah porsi nasi kuning di warung belakang Kodim 1307 Poso. Ini warung nasi kuning legenda.
Tak ada satu pun amuk sosial yang mampu menutupnya. Bahkan pada 1998 – 2000, saat Poso membara oleh angkara murka, legenda itu menjadi penyaksinya.
“Seberapa jauh kau mengenali keluarga Santoso, pimpinan MIT?,” tanya suara dari seberang telepon.
Suara itu sudah tentu milik intel tentara yang datang tengah malam ke rumah kost Ahmad. Ya, itu suara Syamsuddin Siregar yang sudah naik pangkat Brigadir Jenderal.
Tak perlu bertanya lagi lebih jauh, Ahmad tahu tugasnya. Artinya ia harus memanfaatkan kontaknya di jaringan mujahiddin Poso. Hanya dengan cara itu ia bisa bertemu keluarga Santoso.
Matahari sudah meninggi sepenggalah di cakrawala. Lelaki yang masih membujang pada usia 42 tahun itu sudah bersiap. Kendaraannya sepeda motor modifikasi. A la Ali Topan, anak jalanan dalam novel dan film Teguh Esha. Ia lalu memacu sepeda motornya ke arah Poso Pesisir Utara.
Ia ditemani Sugeng, warga Tegalrejo Poso. Anak muda bersuku Jawa itu jadi kontaknya berhubungan dengan Mujahiddin Poso. Dia pemuda yang ramah. Terlihat kurus tapi gesit.
***