Episode 5: Karavea, Pendekar Berkuda dari Tanjung Donggala

Matahari belumlah terbit, tapi rombongan dari Kerajaan Pujananti sudah bersiap-siap. Batari Fatimah juga sudah tampak mengemasi barang bawaannya. Karavea sudah mengumpulkan anggota rombongannya di halaman Istana Balanipa. Seperti rencana, pagi ini mereka akan meneruskan pelayaran. Mereka akan singgah sebentar di Kerajaan Soreang membawa tanda mata dari Pua Raja Pujananti. Jalur pelayarannya mudah karena segaris pantai dengan Balanipa.

Atas permintaan Karavea, mereka akan lebih ke tengah, berlayar melewati laut dalam untuk menghindari karang-karang di pesisir.

“Wah, sudah bersiap-siap rupanya. Kami sudah menyiapkan makanan di ruang tengah.”

Suara Mara’dia Balanipa terdengar dari tangga istananya. Sebab tak ada lagi yang perlu dipersiapkan, Karavea, Fatimah dan anggota rombongan lainnya bergegas memenuhi panggilan Mara’dia.

“Kami mengucapkan terima kasih yang terhingga atas sambutan hangat dari Mara’dia Balanipa. Kami diperlakukan seperti saudara sendiri,” sahut Karavea saat Mara’dia menggamit lenggannya untuk duduk di sampingnya.

“Ini bukan apa-apa, seperti yang Ananda lihat, laut membentang di depan kami, tanah subuh menghampar di belakang kami. Bila ingin makan tinggal mengambilnya.”

Demikian Mara’dia Balanipa menggambarka betapa makmurnya Kerajaan yang dipimpinnnya. Tampaknya pula Raja yang masih terlihat gagah ini memimpin rakyatnya dengan adil. Istananya bahkan bukanlah tempat yang tabu untuk didatangi rakyatnya. Bahkan anak-anak kecil tak segan menyapanya. Disiapkan pula tempat khusus anak-anak lelaki berlatih silat di dekat Istana. Adapun anak-anak perempuan dekat ke Permaisurinya. Permaisuri memang suka mengajari anak-anak perempuan itu menyulam dan memasak aneka makanan. Dulu sebelum kembali ke Balanipa, Permaisuri yang biasa disapa Andi Amanna itu pernah mengikuti bapaknya berlayar hingga ke tanah seberang. Bapaknya adalah saudagar Arab yang memilih menetap di Tanah Mandar dan menikah di sana.  

“Ananda Batari, Ibu memberikan hadiah giwang emas ini untukmu. Ini tanda mata. Anggaplah ini pemberian dari ibu kandungmu sendiri. Pakailah ini selalu. Giwang ini Ibu dapatkan dari Tanah Arab sewaktu ibu mengikuti Bapak ke sana. Konon katanya diisi dengan kekuatan. Apabila Ananda terus memakainya, semoga selalu dijauhkan dari marabahaya. Giwang ini ibu pakai saat masih gadis hingga kemudian menikah.”

“Satu lagi, sehebat apapun dirimu, bila sudah menikah, patuhilah suamimu. Itu jalan hidup perempuan. Apakah Engkau bisa menegur suamimu bila salah langkah? Tentu bisa, sebab itulah tugasmu sebagai pendampingnya.”

Terdengar Permaisuri Balanipa memberi nasihat kepada Fatimah. Putri Luwu yang pandai membawa diri itu membuat Ibu Permaisuri jatuh hati. Pagi hari ini sudah mengajak Fatimah berkeliling memetik sayur mayur di halaman belakang istana. Selain untuk mereka, juga dibawa untuk bekal rombongan dari Pujananti itu selama berlayar.

Beruntung, gelombang di Selat Mandar tak lagi bergolak ganas. Jung dari Pujananti itu tampak membelah lautan dengan tenang. Angin dari buritan bertiup tak terlalu kencang, namun cukup mendorong laju kapal.

Kali ini, Karavea meminta para anak buah kapal lebih bersiaga. Ada kabar Selat Mandar penuh bajak laut. Mereka akan merompak kapal-kapal yang bukan berasal dari perairan laut mereka. Tak ingin ambil risiko, Karavea sudah mengatur penjagaan dengan saksama. Adapun Fatimah dimintanya mengawasi situasi.

Beberapa waktu lalu, mereka membunuh dan menjarah kapal milik saudagar Zhōngguó yang melintasi jalur laut itu. Setelahnya kapal mereka dibakar dan ditenggelamkan. Para bajak laut itu dikabarkan sangat lihai. Keahliannya bertarung dalam laut menjadikan mereka sulit ditandingi. Untuk itu Karavea tak terlalu kuatir. Ia besar di Pujananti di mana Tanjung Donggala adalah daerah kekuasaannya. Ia terlatih menyelam bila berburu ikan besar. Beberapa anggota pasukannya pun terlatih bertarung di dalam laut. Ia hanya khawatir Batari Fatimah. Gadis itu memang tergolong lihai, tapi di dalam air ia pasti kewalahan.

Pelayaran malam ini mereka hadapi dengan waspada. Beruntung tidak ada kejadian apa-apa. Di anjungan, Karavea dan Fatimah terlihat bersendagurau.

“Kakanda Karavea, bila nanti sudah menikah, saya mau kita tinggal di Pujananti saja. Ayahanda sudah bilang, bila Kakanda tak mau jadi raja pengganti. Saya mendukung keputusan Kakanda. Menjadi raja atau rakyat, buat saya sama saja. Kita tetap manusia. Mungkin dengan tidak menjadi raja, dan saya bukanlah permaisuri, kita bisa lebih mudah membantu orang lain di mana-mana.”

“Iya. Itu juga yang ada dalam pikiran saya, Adinda.”

Malam yang makin larut, tapi sepasang kekasih itu tak jua beranjak. Para prajurit pun tetap waspada. Tak terdengar suara lagi dalam waktu lama. Hanya batin mereka bergolak. Sepasang insan yang tengah memadu kasih ini merasakan kehadiran masing-masing tak cuma tubuh kasar tapi juga batin mereka. Sesekali mereka bersitatap dan saling melempar senyum.

Pagi sudah menjelang. Semburat merah jingga melukis bianglala di timur. Sinar matahari menerobos kisi-kisi mega. Seperti tombak yang menghunjam ke bumi.

Tiba-tiba pengawas melihat lima perahu berbadan ramping meluncur ke arah mereka.

“Panglima, bajak laut sebelah kiri anjungan. Apa yang harus kita lakukan.”

Terdengar teriakan pasukan pengawas dari ujung tiang layar.

“Biarkan mereka. Biarkan mereka naik. Saya sudah melihat kekuatannya. Paling duapuluhan orang. Kali ini kita harus memberi pelajaran untuk mereka.”

Teriakan Karavea membuat anak buah kapal langsung bersiaga.

Tak lama kemudian tambang-tambang berjangkar seukuran jempol kaki sudah melekat di dinding Jung. Para anak buah kapal yang sejatinya adalah anggota Pasukan Khusus Kerajaan Pujananti itu dengan tenang menanti mereka di balik dinding kapal.    

Tepat saat para perompak itu tiba di atas kapal setelah meniti tali, mereka langsung disergap. Mereka pasti tak menyangka bahwa yang di dalam kapal adalah anggota Pasukan Khusus Kerajaan Pujananti. Ada satu dua yang melawan, tapi tak lama langsung diringkus. Karavea dan Fatimah hanya menyaksikan pertarungan pendek anak buahnya dengan para perompak itu.

Salah seorang di antaranya bersenjata badik yang agak panjang terlihat lumayan juga. Ia hampir bisa menandingi kemampuan salah seorang anak buah Karavea. Tampaknya dialah pemimpin bajak laut ini. Hanya saja kali ini mereka salah pilih lawan. Tepat di saat dia mengangkat badan dan melakukan pukulan melayang, saat itu pula anak buah Karavea melayang dan langsung memukul dadanya. Itu adalah area tak terlindungi saat dia melompat. Pemimpin bajak laut pun langsung terjatuh di geladak.

Total anggota bajak laut yang mereka ringkus sebanyak dua puluh orang. Karavea pun langsung melakukan sidang kilat untuk mereka. Kepada mereka diberi dua pilihan; Apakah akan mengikuti Karavea sebagai anak buah atau diserahkan kepada penguasa setempat untuk diadili? Tentu saja untuk mencari aman, mereka lebih memilih menjadi anak buah Panglima Pujananti itu daripada diserahkan kepada penguasa untuk mendapat hukuman. Tapi Karavea bukanlah orang sembarangan, ia bisa membaca kepribadian orang. Maka dari duapuluh lima orang Lanong yang diringkus itu, hanya sepuluh orang yang diambil menjadi anak buahnya.

Mereka yang terluka dalam dan terluka luar saat bertarung tadi langsung diobati. Adapun mereka yang kemudian bersumpah setia kepada Karavea langsung diminta berganti pakaian dan bersih-bersih. Itu agar bisa dibedakan oleh penguasa setempat saat mereka turun membuang sauh.  

Menjelang petang, mereka sudah tiba di Bandar wilayah Kerajaan Soreang. Pengawas pantai sejak jauh sudah melaporkan kepada Aru Soreang Petta Labattoa. Walhasil saat mereka tiba, sejumlah hulubalang Kerajaan sudah menunggu. Mereka pun diantar ke Istana. Apalagi sudah tersiar kabar, mereka berhasil melumpuhkan para bajak laut yang beraksi di Selat Mandar. Sudah berkali-kali dikirim pasukan untuk memberantas bajak laut itu, namun selalu gagal. Diketahui mereka bersembunyi di hutan larangan di sekitar wilayah Kerajaan Bacukiki.

Di depan istana, Aru Soreang sudah menanti rombongan Karavea dan bajak laut tawanannya. Aru Soreang belumlah terlalu tua. Usianya belumlah lebih dari setengah abad. Ia tampan, putih dan berkumis putih. Wajahnya simpatik. Semua orang yang memandangnya pasti langsung merasakan sambutan persahabatan darinya. Karavea dan Fatimah pun merasakan hal serupa saat bertemu.

“Kami mengucapkan terima kasih atas usaha Panglima Kerajaan Pujananti untuk melumpuhkan bajak laut ini. Selama ini mereka sering mengganggu saudagar Arab, Zhōngguó dan India serta dari Bugis dan Makassar. Mereka tidak segan-segan membunuh. Saya akan segera menggelar persidangan mereka besok.”

Aru Soreang menegaskan sikapnya, sembari mengakui bahwa kedatangan rombongan Pujananti sudah dinantikannya. Sebab sudah lama ia mendengar kabar yang tersiar. Pada malam itu, ia segera mengirimkan utusan ke Puang Raja Bacukiki untuk memberitahu bahwa bajak laut yang bersembuyi di wilayah mereka sudah diringkus Panglima dari Pujananti, kerajaan sahabat di timur Celebes.  

Malam itu dilewatkan rombongan dari Pujananti ini di wilayah Kerajaan Soreang. Adapun Karavea dan Fatimah terpaksa tidur sekamar, karena Aru Soreang memaksakan keduanya harus tidur di dalam. Ia tak enak hati membiarkan Panglima dan Putri Luwu itu harus tidur di ruang tengah di atas tikar tipis.

Batari Fatimah tidur di atas ranjang yang terbuat dari kayu besi, sedang Karavea tidur di lantai beralas tikar. Semua Fatimah menyilahkan Karavea tidur di sampingnya.

“Bila Kakanda mau, kita tidur berpunggungan. Saya yakin Kakanda tidak akan melakukan perbuatan tak senonoh pada saya,” kata Fatimah sambil terkekeh menggoda Karavea. Ia tahu belaka, Karavea seorang lelaki yang pandai menjaga adab.

“Saya ingin, tapi saya kuatir, bila saya bergerak-gerak tidurmu akan terganggu Adinda.”

Tak berapa lama mereka pun pulas. Meski demikian, sebagai pendekar terlatih, Karavea selalu awas. Gerakan sekecil apapun dapat membangunkannya. Apalagi sejak Fatimah ada di sampingnya, kewaspadaannya makin meningkat. Ia ingin memastikan Putri Luwu yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu selalu aman dan nyaman. ****  

Bersambung ke Episode 6: Pertarungan Maut di Bacukiki – Karavea, Pendekar Berkuda dari Tanjung Donggala