Pelabuhan Rotterdam diselimuti kabut dingin. Desember mengiris tulang. Orang-orang berjas tebal bergegas menuruni kapal, disambut pelayan, kereta, dan keramaian dunia yang bergerak tanpa jeda.

Sari berdiri di dekat tangga kapal, menggenggam tangan kecil Annelies. Di balik matanya, badai berkecamuk. Ia tak pernah membayangkan bahwa tanah Eropa akan begitu kelabu dan sunyi. Segalanya asing, bahasa, bau udara, warna langit.

Willem menghampirinya, kini tanpa seragam, hanya mantel panjang dan topi bundar yang membuatnya terlihat lebih… manusia. Lebih hangat.

“Kau menggigil,” katanya sambil menaruh syal wol ke bahu Sari.

BACA INI JUGA:  Babak Satu: Ombak yang Membawa Bisikan

“Ini… dingin seperti kematian,” bisik Sari.

“Jangan bicara begitu. Kau tidak sendirian.” Willem menatapnya, dan dalam sorot matanya ada harapan yang rapuh namun keras kepala. “Aku telah menyewa rumah di pinggiran Leiden. Sebuah rumah kecil dengan kebun, dan perapian. Aku ingin kau ikut.”

Sari menunduk. “Dan dunia akan bilang apa saat komisaris membawa perempuan inlander ke rumahnya?”

“Aku tak peduli. Annelies mencintaimu. Hendrik mencarimu setiap malam. Dan aku… aku lebih hidup saat bersamamu daripada di seluruh hidupku yang dulu.”

BACA INI JUGA:  Empat Sekawan dan The Shadow Seekers (5): Penjaga Rahasia yang Tersembunyi

Ia menggenggam kedua tangan Sari, menggenggam erat seolah ia bisa melawan sejarah dengan sentuhan itu. “Dengarkan aku. Tidak ada yang tahu kita datang dari kapal yang sama. Tak akan ada yang tahu siapa kau sebelum malam ini. Mulai sekarang, kau Sara. Sara van der Woude.”

Sari menahan napas. Nama itu terasa asing dan manis sekaligus. Seperti baju mahal yang belum pas di badan.

“Dan jika dunia menolak kita?” tanyanya.

“Kita ciptakan dunia kita sendiri.” Willem menatapnya dalam. “Maukah kau hidup dalam rahasia, tapi dengan cinta? Atau hidup dalam terang, tapi tanpa aku?”

BACA INI JUGA:  Babak Dua: Tanah yang Bernafas

Sari menggigit bibir. “Rahasia, asal jangan luka.”

Dan di dalam kabin kecil di Hotel der Nederlanden, malam itu, mereka menulis surat ke catatan sipil: perempuan asal Ambon, mualaf, bernama Sara, akan menetap sebagai penjaga anak di rumah van der Woude. Tapi hanya mereka yang tahu, bahwa surat itu ditandai dengan lebih dari tinta, ditandai dengan cinta yang menantang waktu.