“Dari mana Bapak mengenal saya dan tahu alamat saya?,” tanya Ahmad padanya.

“Kami sudah lama melakukan tracing. Sejak aktif demonstrasi hingga mendekati kuliahmu selesai. Ditambah lagi saat kau menjadi jurnalis,” aku dia.

Ia lalu kembali menyambung, “ingat saat hujan deras dan kau menunggu angkutan di halte Pasar Minggu, kemudian tiba-tiba ada taxi yang menghampiri dan menawarkan tumpangan tanpa bayar dengan alasan bahwa dia juga akan kembali ke rumahnya?” Itu kami dik.”

“Begitu pun saat rantai sepedamu putus di arah puncak lalu tiba-tiba ada anggota klub sepeda menghampirimu dan membantumu memperbaiki? Itu tim kami yang ditugaskan mengawasi gerak-gerikmu,” ungkap Jenderal itu lagi.

Ahmad tak menyangka ia diawasi dan didukung sejauh itu.

Lalu ini yang benar-benar tak disangka Ahmad; “Kau tak ada pilihan untuk menolak. Kami membutuhkanmu untuk membuat pemetaan konflik, pemetaan sosial budaya dan aspek-aspek lain yang menjadi dasar untuk sebuah operasi. Kau kami minta bergabung membantu,” pinta Syamsuddin Siregar mendesak.

Lelaki yang dari raut wajahnya terlihat sudah kenyang makan asam garam kehidupan itu lalu mengatakan, “cover-mu sebagai jurnalis akan memudahkan spotting di daerah manapun. Hanya saja kali ini kami butuh kau di Poso.”

Perwira berdarah Batak itu lugas, tapi kebapakan. Ahmad Alghifary langsung jatuh hati. Tapi ia tak langsung mengiyakan tawaran itu. Meski ia memang selalu berhati masygul melihat tanah kelahiranya didera konflik.