“Beri saya waktu berpikir, Jenderal. Saya mesti menimbang banyak hal bila saya benar-benar terlibat dalam operasi itu,” jawab Ahmad.

Lelaki itu pun memahaminya.

“Tapi jangan lama-lama. Segera. Kita sudah akan memulai operasi ini. Kau nantinya cuma akan melapor kepadaku. Tim pendukung di lapangan akan disiapkan untukmu bila sewaktu-waktu ada insiden yang kita tak inginkan,” tukas tentara yang menghabiskan lebih dari separuh masa dinasnya di dunia intelijen itu sembari menaruh kartu namanya dan berpamitan.

Ahmad sudah mengira bahwa kartu namanya pastilah alat samaran. Dan dugaannya memang terbukti; di kartu nama itu tertulis namanya Sultan Siregar dan berprofesi sebagai wartawan sebuah media di Jakarta. Sebab sudah paham, Ahmad tak ambil pusing lagi mencari tahu di mana alamat tertera dalam kartu itu. Yang jelas di salah satu tempat di Jakarta Selatan.

Berselang dua minggu kemudian, Ahmad Alghifary mengirimkan jawaban. Ia bersedia bergabung dalam operasi itu.

Maka sejak saat itu jadilah ia bagian dari sebuah Operasi Intelijen bersandi Madago Raya. Itu diambil dari Bahasa Pamona yang bermakna hati yang baik.

Di kampusnya, jarang yang tahu bahwa Ahmad menguasai Silat dan Ju Jitsu. Sejak Sekolah Dasar ia sudah aktif di Perguruan Silat Tapak Suci. Sekolahnya yang berada di bawah naungan Muhammadiyah memang menganjurkan anak didiknya berlatih silat. Sekarang ia adalah Pendekar Utama. Ia pemegang Sabuk Hitam Melati Merah Empat.