Ini adalah sebuah novel. Tentang kisah-kisah yang tak terungkap sepanjang dua dekade amuk sosial di Poso. Mulai dari silang sengkarut antaragama hingga terorisme. Kami hadirkan kisah ini untuk Anda semua pembaca setia jafarbuaisme.com.

“Dunia kita berbeda, saudara. Sudah sepuluh tahun ini, saya punya dua wajah. Saya juga punya dua jalan hidup. Wajah dan jalan berbeda yang mungkin tak bisa saudara-saudara bayangkan. Dua wajah dan dua jalan itu berbeda jauh. Saya harus memutuskan untuk memilih salah satunya. Ada waktunya, saya akan menceritakan kisahnya pada Anda semua.”

***

Subuh yang hening di Poso, di timur Pulau Celebes, Ahmad Alghifary menyelesaikan catatan di notebook tua miliknya. Ia baru saja selesai menulis laporan analisisnya soal penyerangan atas sejumlah warga di Dusun Lebonu, Lembantongoa, Sigi, Sulawesi Tengah.

Kejadian pada Jumat, 27 November 2020 itu terasa menghentak. Kelompok Mujahiddin Indonesia Timur pimpinan Ali Kalora dituding sebagai pelakunya. Empat warga dibunuh dan rumahnya dibakar. Saksi mata mengenali bahwa tiga orang pelaku penyerangan wajahnya mirip dengan daftar pencarian orang yang dikeluarkan Satuan Tugas Operasi Tinombala.

Hari ini almanak menunjuk pada 30 November 2020. Di sebuah rumah di tepian Sungai Poso, Ahmad, lelaki Melayu bersuku asli Poso bercampur Bugis dan Gorontalo memandang aliran sungai bersejarah itu.

Sungai itu masih mengalir seperti biasanya. Sungai yang membelah Kota Poso itu, menjadi ciri khas kota kecil itu. Airnya yang membiru dan di beberapa tempat berkedalaman hingga 5 meter, konon, dihuni buaya payau (Crocodilus sp).

Tapi bagi sebagian besar masyarakat petani setempat itu bukan halangan. Saban hari mereka bolak-balik melewati sungai itu dengan perahu ramping tak bercadik atau rakit bambu, jika ingin pergi ke ladangnya di seberang bantaran sungai. Begitu pun para nelayan yang menjadikan tepian sungai itu sebagai dermaga.

Sungai yang berhulu di Danau Poso itu, menjadi saksi masuknya Misie en Zending Belanda yang menyebarkan agama Kristen Protestan di pedalaman Poso pada abad ke-16. AC. Kruyt, salah seorang misionaris asal Belanda itulah yang memperkenalkan agama Kristen kepada penduduk pedalaman Poso. Sementara Islam telah menyebar di Pesisiran Poso jauh temponya, dari kedatangan Kruyt.

Dengan penguasaan antropologi dan linguistik yang piawai, Kruyt menterjemahkan injil ke dalam Bahasa Bare’e, bahasa asli etnik yang bermukim di Poso. Kristen pun menyebar dan Islam pun berjaya. Rupanya, kesimpulan yang diambil mendiang Kruyt, masyarakat setempat memegang teguh sendi adat Sintuvu Maroso, yang terjemahannya kira-kira: Bersatu Membuat Kita Kuat.

Makanya tak perlu heran, hingga saat ini, satu rumpun keluarga memeluk agama yang berbeda. Sayang, kerusuhan kurun Mei-Juni 2000, memang benar-benar membuat sendi-sendi kultural itu luluh lantak. Tak ada lagi saudara, tak ada lagi tetua, Cuma dendamlah yang punya hak bicara.