Episode 2: Cinta Bersemi di Pujananti

Sambil tetap berkuda, Batara Dewaraja, Batari Fatimah dan La Basso mengikuti pasukan khusus pengawal Kerajaan Pujananti memasuki hutan bambu. Jalurnya kadang berkelok, kadang lurus, ada pula yang landai dan curam. Hutan bambu ini memang dibuat serupa benteng. Tak semua jalannya lebar. Ada yang sengaja hanya bisa dilewati oleh orang berjalan kaki atau berkuda. Adapula yang pula yang dipotong oleh aliran sungai. Jadi istana kerajaan memang benar-benar aman. Matahari mulai melewati ubun-ubun mereka saat ini.

Dari kejauhan sudah terdengar riuh rendah rakyat Pujananti. Ramai dentam alu memukul lesung diatur berirama. Ada pula lenguh kerbau terdengar. Batari Fatimah bergumam bila Pujananti adalah kerajaan yang makmur. Sembari melihat-lihat negeri tempat yang ditujunya kini, diam-diam ia melirik sosok laki-laki yang dipanggil Panglima tadi. Ia tak kalah tampan dari Kakanda Dewaraja. Bahkan ia cenderung lebih tenang, tanda bahwa ia banyak menimba ilmu kebijakan. Saat bersitatap dengan Fatimah pun ia memilih membuang pandangan. Itu artinya ia lelaki yang sopan. Entah bagaimana jantung gadis pendekar dari Kerajaan Luwu itu berdebar-debar. Ia tampak tersenyum-senyum sendiri, sampai Dewaraja melirik dan mendelikan mata kepada adiknya itu. Dewaraja tahu belaka, sepertinya adik kesayangannya itu jatuh hati. Ia tentu tahu, sebab ia lebih tua sepuluh tahun dari perempuan yang sungguh diidamkan oleh banyak pangeran di Tana Luwu ini.

Sorak-sorai Pasukan Khusus Pengawal Kerajaan membuyarkan pikiran para tetamu dari Tana Luwu ini. Pasukan berbaris hingga ke pendapa kerajaan yang panjangnya tidak kurang dari sepuluh tumbak dan lebarnya sekitar 5 tumbak. Pendapa Kerajaan Pujananti menghadap ke lautan lepas. Begitu pun bangunan Istananya yang tak kalah luasnya. Oleh karena mereka berada di lereng bukit yang lebih tinggi dari dataran, mereka bisa melihat lautan lepas Tanjung Donggala tanpa penghalang. Mereka seperti berada di atas pucuk bambu. Sungguh pusat Kerajaan Pujananti tak kepalang indahnya.

Panglima Pasukan Khusus tadi kemudian melapor ke Pua Raja Daeng Tarenreng.

“Selamat datang anak-anakku. Sungguh Datu Luwu Batara Guru menepati janjinya mengirimkan utusannya. Tak disangka yang dikirimnya adalah dua anak kesayangannya,” sambut Pua Raja Pujananti.

Raja yang masih terlihat tampan dan kokoh postur tubuhnya itu lalu mempersilahkan para tetamu masuk dan duduk di hadapannya. Ia duduk melantai dilapisi bantal dari kain kulit kayu berisi kapuk yang memang banyak tumbuh di sekitar wilayah kerajaan itu.

“Bila tak salah penglihatan saya, yang lelaki adalah Batara Dewaraja dan perempuan adalah Batari Fatimah. Adapun pengawal kalian adalah La Basso, yang saya tahu meski tak muda lagi tapi sudah lama menjadi kepercayaan Datu Luwu,” tukas Pua Raja.

Ia pun lalu memperkenalkan para penjemput tamu tadi. Mereka sesungguhnya saudara sepersusuan. Panglima tadi bernama Karavea. Ia adalah anak sulung Pua Raja. Sedangkan dua orang yang mendampinginya adalah Kalaya dan Lauju. Ketiganya adalah pendekar tanpa tanding di Kerajaan Pujananti. Nama ketiganya tersohor hingga ke Kerajaan Makassar, Bone dan Gowa hingga ke Luwu. Kemana-mana mereka jarang terpisah, namun bila Karavea tengah berkelana, Kalaya dan Lauju bertugas menjaga Kerajaan dari gangguan musuh. Kemampuan mereka yang paling ditakuti musuh adalah menghilangkan bentuk kasar tubuh mereka. Itulah yang tadinya diperlihatkan oleh ketiganya ketika menjemput tetamu dari Tana Luwu ini.

Mendengar penuturan Pua Raja, hidung Batari Fatimah kembang kempis. Pipinya memerah bila tiba-tiba ia bersitatap dengan Karavea. Sepertinya Karavea pun tertarik pada gadis itu.

Pendek kata, kedatanganya mereka di Pujananti disambut selayaknyabangsawan mulia. Setelah selesai menyantap aneka hidangan ikan laut dan dedagingan ditambah dengan nasi dari beras ladang, mereka pun ditunjukkan tempat untuk membersihkan badan. Ada air terjun yang tak jauh di belakang istana tempatnya.

Malam harinya, suguhan rebana dan atraksi beladiri khas Pujananti dipertunjukkan. Aneka ragam makanan dan minuman pun disuguhkan. Pujananti sungguh makmur. Rakyatnya pun turut larut dalam pesta penyambutan tetamu istimewa itu. Di akhir acara mereka yang sempat mencium tangan Pua Raja berdesakan, sementara yang lain bersedekap dan menunduk hormat kepada raja mereka. Sungguh Pua Daeng Tarenreng dicintai oleh rakyatnya.

Dalam epos sejarah I La Lagaligo, diceritakan Sawerigading dengan putranya bernama La Galigo berlayar dengan perahu ramping bernama Banawa. Mereka mengarungi lautan sampai ke pesisir barat Sulawesi Tengah dan berlabuh di sebuah pantai kira-kira tujuh kilometer dari Kota Donggala Kini.

Pantai tersebut dinamai Langga Lopi dan daerah di sekitarnya disebut Banawa. Di daerah ini La Galigo menikah dengan putri Kaili bernama Daeng Malino Karaeng Tompo ri Pudjananti sebagai istri keempatnya. Dari pernikahan tersebut, dia memiliki dua orang anak, yang pertama bernama Lamakarumpa Daeng Pabetta La Mapangandro sedangkan yang kedua diberi nama Daeng Tarenreng Masagalae ri Pudjananti.

Itulah yang membuat Pujananti merasa terikat secara keluargaan dengan Kerajaan Luwu. Adapun Luwu sudah disebutkan dalam kitab Kakawin Nagarakertagama pada abad ke-14 takluk di bawah Kerajaan Majapahit dengan rajanya Hayam Wuruk. Kala itu, kekuatan ekonomi Luwu bertumpu pada peleburan bijih besi. Itu mereka ola menjadi senjata dan alat pertanian. Sebagian dipakai oleh rakyatnya dan sebagian menjadi komoditas niaga.

Kita tinggalkan sejenak kisah sejarah itu, sebab di alun-alun di depan pendapa, setelah pesta penyambutan usai, dipimpin Karavea, satu dua regu pasukan duduk membentuk lingkaran. Adapun ketiga tetatmu dari Luwu duduk bersebelahan. Mereka menyaksikan para prajurit Kerajaan Pujananti beradu ketangkasan. Masing-masing mereka bersenjata Guma. Ini adalah pedang khas Pujananti. Ada pula yang memegang Doke. Adapun Doke adalah tombak bergagang pendek yang cocok digunakan dalam pertempuran jarak dekat.

Saat ini, dua prajurit tengah bertarung. Seorang prajurit menggunakan Guma dan seorang laki menggunakan Doke. Seru. Mereka benar-benar lihai. Sudah sepuluh jurus dibuka, bahkan sehelai rambut mereka pun tak jatuh akibat sabetan guma dan tusukan doke. Kerap tinggal setengah jengkal senjata masing-masing mereka akan mengenai kulit tubuhnya, tiba-tiba mereka mengelak. Senjata masing-masing mereka pun mengenai angin. Sesekali bila bilah Guma bertemu ujung Doke, bunga api terlihat memercik. Tanda bahwa keduanya mengeluarkan kekuatan yang seimbang.

Ilmu silat yang mereka pertontonkan asing bagi para tetamu dari Luwu itu. Mereka tak tahu bahwa itu adalah campuran ilmu silat yang disebut Kung Fu dan Kuntao dari Tanah China. Itu dibawa oleh saudagar-saudagar China yang membuang sauh di Pelabuhan Donggala, kemudian menetap lama di sekitar wilayah yang menjadi bagian Kerajaan Pujananti itu. Sementara pertarungan senjatanya memang ilmu silat khas Pujananti. Kepada para saudagar yang mengajarkan beladiriitu, bayarannya adalah hasil bumi. Pua Raja memang terbuka pada pendatang selama mereka mendatangkan kemanfaatan bagi rakyatnya.

Sementara itu, setelah dua prajurit usai bertanding, sekarang pertarungan tangan kosong dua melawan satu. Kecepatan mereka hampir-hampir tak bisa diikuti mata biasa. Beruntung para tetamu adalah juga pendekar, sehingga mereka tak kesulitan mengikuti jalannya adu ketangkasan itu. Ilmu meringangkan tubuh prajurit-prajurit pilihan ini sungguh luar biasa.

Bila Batara Dewaraja dan La Basso menyaksikan dengan serius dan diam adu ketangkasan itu, beda halnya dengan Batari Fatimah. Ia sesekali berteriak memuji, sesekali pula ia bertepuk tangan. Ia tak peduli tatapan mendelik kakaknya. Ia benar-benar gembira.

Adu ketangkasan itu berlangsung hingga larut malam. Semua tetamu benar-benar puas menyaksikannya.

“Terima kasih Panglima. Adu ketangkasan yang ditunjukkan prajurit-prajurit Pujananti sungguh memukau. Kami harus mengakui kelihaian para prajurit Panglima. Besok-besok, kami hendak mencoba mempelajarinya,” kata Dewaraja.

Karavea pun mahfum. Para tetamu ini, utamanya Dewaraja ingin berlaga dengan prajuritnya. Ia juga tertarik menguji kemampuan prajuritnya, sebab selama ini jarang ada lawan yang sungguh mampu menandingi mereka.

“Baiklah Opu, besok usai berburu di siang hari, malam hari kita akan melihat adu ketangkasan prajurit-prajurit lainnya lagi. Kami pun tak keberatan bila Opu mau mengajari prajurit kami,” ujar Karavea merendah.

Selama Karavea dan kakaknya bercakap, Fatimah berdiam diri sembari terus menatap wajah Panglima Pasukan Khusus Kerajaan Pujananti itu. Ia terus membatin bahwa lelaki seperti inilah yang diinginkan menjadi jodohnya kelak. Digdaya, namun tetap rendah hati. Ia pun terlihat dicintai oleh anak-anak buahnya. Ia tak kalah berwibawa dari Pua Raja.

Batari Fatimah pun benar-benar jatuh hati. Dan diam-diam, Karavea yang meski jarang menatap langsung putri Luwu itu, sudah menetapkan hati, bila berjodoh, ia akan memyunting Batari Fatimah. ***

Bersambung ke Episode 3: Karavea, Pendekar Berkuda dari Tanjung Donggala: Huru Hara di Tanjung Donggala