Melihat makin banyaknya korban jiwa dan harta benda yang jatuh, pada Selasa, 22 Agustus 2000, Warga Poso, bersepakat mendukung upaya perdamaian.
Kesepakatan damai itu disampaikan oleh sedikitnya 14 pemuka adat se-Kabupaten Poso di hadapan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di halaman Kantor Bupati Poso.
Majelis Adat se-Kabupaten Poso, dalam naskah kesepakatan menyatakan, seluruh masyarakat Kabupaten Poso ikut bertanggung jawab menciptakan kedamaian atas dasar persaudaraan dan kekeluargaan. Mereka bertekad menjadikan Sintuwu Maroso, sebagai ikatan moral tanda kesatuan dan persatuan serta kekeluargaan seluruh warga Poso.
Kesepakatan tersebut dijadikan sebagai awal dari upaya menuju Rujuk Sintuwu Maroso, yang dikuatkan secara adat. Kelompok mana pun yang memulai kerusuhan di kemudian hari, disepakati untuk ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku.
Naskah kesepakatan yang dibacakan dua tokoh adat dalam bahasa Pamona dan bahasa Indonesia, kemudian diserahkan langsung kepada Presiden oleh Pemangku Adat Pamona, A. Tobondo.
Sebelumnya, Presiden beserta Ibu Negara Shinta Nuriyah, disambut dengan prosesi adat Pekasiwia, upacara penyambutan tamu secara adat Pamona.
Saat itu, turut serta dalam rombongan Presiden, Mendagri Surjadi Soedirdja, Menteri Agama Tolchah Hasan, Panglima TNI Laksamana Widodo AS, dan Kepala Polri Jenderal Polisi Rusdihardjo. Hadir pula Gubernur Sulteng H Bandjela Paliudju, Gubernur Sulsel H Zainal Basrie Palaguna, dan Gubernur Sultra Laode Kaimoeddin.
Gus Dur, Presiden ke empat Indonesia itu, menyatakan menyambut baik komitmen kuat yang lahir dari masyarakat sendiri.
“Pada akhirnya masyarakat Poso sendiri yang dapat mengatasi keadaan, memulihkan situasi. Masyarakat Poso tidak hanya membangun kembali yang sudah ada, tetapi juga melanjutkan perjuangan dan kehidupan yang sudah kita jalani bersama,” ujarnya di depan ribuan rakyat yang memadati alun-alun depan kantor bupati.
Apa yang telah dilakukan warga Poso, katanya, merupakan hal yang menggembirakan, di mana masyarakat yang majemuk bersedia bergabung untuk memulihkan keadaan, dan membangun keadaan ke arah yang sangat baik bagi para warganya. “Kesediaan masyarakat untuk mengembangkan hal ini sangat penting, dan harus dicatat sebagai sesuatu yang berharga bagi kepentingan bangsa kita. Bukan hanya kepentingan untuk daerah Poso, tetapi sesuatu yang harus dimiliki setiap warga bangsa ini,” tuturnya.
Ia mengajak bangsa Indonesia untuk belajar dari pengalaman yang telah ada ini untuk kemudian dijadikan cara mengatasi gejolak yang masih ada, terutama sebagai langkah antisipasi. Bangsa Indonesia diminta agar mementingkan arti persatuan nasional dan kesatuan sebagai bangsa.
“Sebab hal itu sangat menentukan bagi kehidupan kita, meski tetap beragam dan tetap mengalami kemajemukan yang sangat tinggi.
Kemajemukan bukan hanya bersifat etnis, bahasa ibu, budaya, dan sebagainya, melainkan juga kemajemukan yang timbul dari tantangan kehidupan modern yang kita hadapi,” paparnya.
Sebenarnya, upaya damai sudah diupayakan sebelumnya, tepatnya pada 12 Juni 2000 atas prakarsa Pemerintah Kabupaten Poso bersama Polri dan TNI, digagas sebuah pertemuan dengan para tokoh Islam dan Kristen di Balai Pertemuan Torulembah, di rumah kediaman Bupati Poso.
Kapolres Poso pada 2000, AKBP Jasman Baso Opu membacakan hasil kesepakatan perjanjian perdamaian yang ditanda tangani oleh unsur-unsur Musyawarah Pimpinan Daerah Kabupaten Poso dan para tokoh-tokoh agama.
Poin penting dari perjanjian itu, diberikannya kesepakatan batas waktu kepada kedua kelompok yang bertikai untuk menyerahkan senjata maupun ‘peralatan perang' yang digunakan bertikai kepada pihak keamanan. Batas waktu penyerahan senjata disepakati tanggal 12 hingga 15 Juni 2000. Kesepakatan lainnya adalah, bila batas waktu itu tidak diindahkan, pihak keamanan akan mengambil tindakan tegas.
Beberapa hari sebelum Rujuk Sintuvu Maroso, di kota dingin Tentena, Kecamatan Pamona Utara, selama dua hari, tepatnya 13 – 14 Agustus 2000, berlangsung pertemuan regional para gubernur se Sulawesi. Pertemuan rutin para gubernur itu membahas pembangunan regional di Sulawesi. Oleh karena giliran Sulawesi Tengah menjadi tuan rumah, maka fokus pertemuan pada persoalan penyelesaian Konflik Poso.
Para gubernur se Sulawesi ketika itu, bersepakat untuk menjaga agar konflik Poso tidak melebar di luar Provinsi Sulawesi Tengah. Ketika itu lahir pula sebuah kesepakatan yang cukup menakjubkan, siapapun yang memulai konflik baru, akan menjadi musuh bersama rakyat Sulawesi. Namun kesepakatan yang diteken oleh para gubernur sulawesi dan beberapa tokoh masyarakat sulawesi yang hadir di Tentena, tetap tak memberi arti apa-apa untuk terbangunnya sebuah ‘proyek' rekonsiliasi di Kabupaten Poso.
Sayangnya, pertemuan, rembuk, rujuk atau apapun namanya itu tak bertahan lama. Peristiwa demi peristiwa berdarah terus terjadi pasca gelaran upacara adat itu hingga akhir 2001. Serang menyerang antar kelompok terus terjadi. Sudah banyak yang meregang nyawa sia-sia. Sudah banyak pula harta benda yang terbakar jadi abu.
Pada Minggu, 15 Juli 2001, sebanyak 759 orang anggota Laskar Ahlussunnah Waljamaah tiba di Pelabuhan Pantoloan, Palu dengan menumpang KM Tidar. Lalu pada Rabu, 18 Juli 2001 Wakil Ketua DPP Forum Komunikasi Ahlul Sunnah Waljamaah (FK-AWJ), Ayib Syarifuddin melakukan pertemuan dengan Gubernur Sulteng, Ketua DPRD Sulteng dan sejumlah pejabat kepolisian dan TNI. Pada pertemuan itu, FK-AWJ menyatakan rencananya akan melakukan respon kemanusiaan di Poso.
Dalam amatan awam ketika itu, kondisi mulai seimbang antara dua kelompok bertikai. Bantuan dari pihak luar di kedua belah pihak sudah berdatangan. Tapi masalah Poso bukan harus diselesaikan dengan cara saling serang. Para petempur di kedua belah pihak membuat gelombang pengungsi yang keluar dari Poso makin membludak.
Para pengungsi menyelamatkan diri ke daerah-daerah dengan mayoritas agama yang mereka anut: Muslim ke Palu, Ampana, Parigi, hingga Sulawesi Selatan, sementara Kristen melarikan diri ke Tentena dan Napu di wilayah pegunungan, atau Manado di Sulawesi Utara. Pemerintah mencatat jumlah pengungsi total 86.000 orang. Gereja Kristen Sulawesi Tengah memperkirakan 42.000 pengungsi berada di basis daerah Kristen di kabupaten lainnya.
Setelah Deklarasi Malino, ada beberapa kemajuan tentatif. Pada akhir Februari, 10.000 pengungsi telah kembali ke rumah, sebagian besar ke Kota Poso, Kecamatan Poso Pesisir, Lage, dan Tojo.
Pada Maret 2002, Human Rights Watch menemukan bahwa banyak keluarga yang dengan ragu mengirimkan anggota keluarga laki-laki untuk kembali dan membersihkan reruntuhan dengan membangun rumah sementara, sambil menunggu untuk melihat jika situasi tetap stabil. Beberapa juga menunggu akhir tahun sekolah. Sejak itu jumlah pengungsi mulai menurun, dan perlahan-lahan, berkurang.
Kantor Kesejahteraan Bangsa dan Politik Kabupaten Poso melaporkan bahwa pada pertengahan Juli 2002, 43.308 orang telah kembali ke rumah, sekitar 40 persen dari perkiraan 110.227 pengungsi.
Adapun korban jiwa akibat amuk sosial itu, terasa politis untuk memastikannya. Meski demikian, Human Rights Watch mencatat bahwa kedua belah pihak telah menderita banyak korban dalam kerusuhan ini. Meski ada beberapa perkiraan yang mencapai sekitar 2.000 korban jiwa, sebagian besar memperkirakan antara 500 hingga 1.000 korban.
Versi pemerintah, yang dikeluarkan pada tanggal 5 Desember 2001 —tepat sebelum penandatanganan Deklarasi Malino— dirinci menjadi 577 korban tewas, 384 terluka, 7.932 rumah hancur, serta 510 fasilitas umum terbakar atau rusak.
Sebuah kelompok Muslim, Tim Evakuasi Pencari Fakta Korban Muslim Kerusuhan Poso (Victims of the Poso Conflict Evacuation and Fact Finding Team), mengklaim bahwa antara bulan Mei 2000 hingga Desember 2001, 840 mayat Muslim ditemukan, kebanyakan ditemukan di Sungai Poso dan hutan-hutan di tepi kota. Jumlah yang tidak diketahui juga dikatakan hilang. Kebanyakan korban jiwa diperkirakan sampai pada kerusuhan ketiga, pada bulan Mei dan Juni 2000.
Akhirnya, sebelum amuk sosial melandai, saat hujan deras mengguyur Kota Malino, sekitar 77 kilometer sebelah timur Kota Makassar, Kamis, 20 Desember 2001 pukul 16.00 sebanyak 25 wakil pihak Muslim dan 23 wakil pihak Kristiani menandatangani kesepakatan damai untuk mengakhiri konflik Poso. Kesepakatan damai itu kita kenal sebagai Deklarasi Malino.
Pihak Muslim maupun Kristiani yang terlibat langsung dalam konflik bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, sepakat untuk menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan. Kedua pihak sepakat untuk menjalankan syariat agama dalam kerangka saling menghormati sesuai dengan aturan yang ada.
Dengan kesadaran bahwa konflik dan perselisihan selama tiga tahun terakhir di Poso dan juga Kabupaten Morowali telah menimbulkan penderitaan berkepanjangan, kedua belah pihak juga bersedia menaati penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi setiap bentuk pelanggaran, serta memberikan dukungan atas tindakan tegas yang dilakukan oleh aparat keamanan.
Pernyataan tersebut tertuang dalam sepuluh butir kesepakatan Deklarasi Malino untuk Poso yang dibacakan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Jusuf Kalla saat itu.
Pertemuan hari terakhir diwarnai suasana haru. Mereka yang mengikuti pertemuan sebagian besar merupakan sahabat atau rekan yang telah terpisah selama tiga tahun akibat pecahnya konflik yang bernuansa agama. Sejumlah peserta bersalaman dan berpelukan erat setelah membubuhkan tanda tangan masing-masing pada lembaran deklarasi. Senyum mengembang dari kedua belah pihak.
Penandatanganan deklarasi disaksikan tujuh mediator, masing-masing Menko Kesra Jusuf Kalla, Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) HZB Palaguna, Gubernur Sulteng Aminuddin Ponulele, Panglima Kodam VII Wirabuana Mayjen Achmad Yahya, Kepala Polda Sulteng Brigjen (Pol) H Zainal Abidin Ishak, Pendamping Gubernur Sulsel Kallo Bandaso, dan Pendamping Gubernur Sulteng Ajun Komisaris Besar (Purn) L Manganti.
Selain mediator, turut menjadi saksi 24 peninjau dari organisasi keagamaan, unsur cendekiawan, dan pemerintah, antara lain Din Syamsuddin (MUI), Nathan Setiabudi (PGI), J Liku Ada' (KWI), Letjen (Purn) Arifin Tarigan (Wantannas), Irjen Yusuf Manggabarani (Mabes Polri), Mayjen SN Suwisma (Mabes TNI), Mayjen Bambang Sutedjo (Polkam), S Situmorang (Depdagri), dan Hamid Awaludin (pakar hukum dan politik).
Deklarasi itu juga menyebut, kedua pihak menolak pemberlakuan keadaan darurat sipil dan campur tangan pihak asing. Keduanya juga sepakat mengembalikan hak-hak dan kepemilikan seperti sebelum konflik berlangsung.
Pengungsi akan dikembalikan ke tempat asal masing-masing. Bersama-sama pemerintah, kedua belah pihak akan merehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh. Realisasi dari pernyataan kesepakatan tersebut akan dilaksanakan dengan agenda-agenda serta rencana yang meliputi bidang keamanan dan penegakan hukum, dan bidang sosial ekonomi.
Sementara, Kapolda Sulteng kala itu, Brigjen (Pol) Zainal Abidin Ishak membacakan agenda keamanan dan penegakan hukum menjadwalkan penarikan dan pelucutan senjata api, senjata penusuk, dan penikam yang akan efektif dilakukan 7 Januari hingga 7 Februari 2002, setelah sebelumnya dilakukan sosialisasi yang melibatkan unsur kepolisian, TNI, dan pemerintah daerah.
Untuk penegakan hukum, terhitung 5 (lima) bulan semenjak 7 Februari 2002, Zainal berjanji akan memprioritaskan kasus-kasus yang selama ini belum diselesaikan dengan tetap mengindahkan asas praduga tidak bersalah.
Sementara Gubernur Sulteng Aminuddin Ponulele yang menyampaikan agenda sosial-ekonomi berjanji akan segera menjalankan program rehabilitasi, termasuk menyelesaikan persoalan pengungsi. Rehabilitasi ini meliputi pengembalian pengungsi, rehabilitasi sarana pendidikan, kesehatan, dan peribadatan, serta normalisasi jalur ekonomi yang selama ini terganggu akibat konflik.
Deklarasi Malino ini lahir sebagai bentuk kesamaan persepsi setelah dua pihak langsung dipertemukan, menyambung pertemuan pada hari pertama yang berisi agenda penyampaian aspirasi langsung dari dua pihak kepada mediator secara terpisah. Pada hari pertama pertemuan, masih ada tiga perbedaan yang belum dapat dipersamakan, yakni menyangkut kata saling memaafkan, teknis perlucutan senjata, dan distribusi kekuasaan.
Habib Saleh Alidrus dari Majelis Dzikir Nurul Khairaat, ketika itu, menyatakan bisa menerima kesepakatan yang dibuat, sebab sudah merupakan kewajiban setiap Muslim untuk memaafkan setiap permohonan maaf yang tulus dilakukan. Ia menyebut deklarasi ini bisa menjadi titik awal perdamaian di Poso.
Sedangkan menurut Sawerigading Pelima dari Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Tentena, deklarasi ini harus diterima sekaligus sebagai pesan kepada dunia luar bahwa masyarakat Poso benar-benar menginginkan perdamaian. Seperti termuat dalam deklarasi, dalam pertemuan kedua belah pihak berkesempatan saling memaafkan dan menegakkan sikap saling menghormati. ***