Ratusan bangkai hanyut dibawa aliran sungai bersejarah itu. Kepak sayap ratusan gagak hitam terdengar lebih keras dari pada biasanya. Awan hitam menggantung di langit. Kota mati, tak ada lagi tangis perempuan-perempuan muda yang kehilangan suami, tak ada ada lagi riuh tangis anak-anak yang kehilangan bapaknya.
Mereka mengungsi memburu rasa aman yang meninggalkan mereka. Yang ada tinggal bunyi dan gaung derap sepatu lars tentara dan polisi berselempang senapan yang hilir mudik di kota. Kota sudah mati. Orang-orang sudah jadi hantu. Hantu warna-warni.
Mereka saling menyapa. Saling berjabatan tangan. Tapi di tempat lain ada hantu yang saling berperang. Mereka memperebutkan kebenaran yang terbungkus di kain lusuh berwarna merah dan putih. Dengan peluru dan bom-bom mereka berteriak jika kebenaran adalah mereka dan mereka adalah kebenaran itu.
“Kebenaran itu berwarna putih,” teriak seorang laki-laki paruhbaya yang memanggul pedang panjang dan tombak bermata tiga.
“Kebenaran itu berwarna merah,” sahut laki-laki lainnya, tak kalah garang sambil mengelus-ngelus senapan berlaras dua yang diujungnya diikat kain merah.
Kepak sayap gagak semakin menggemuruh. Seakan menyatakan bahwa kebenaran itu adalah kematian. Atau mungkin kebenaran itu sebenarnya telah mati ketika senapan di tangan-tangan para lelaki-lekai tadi menyalak dan menghamburkan bau busuk mesiu.
“Kebenaran itu sesuatu yang absurd. Kebenaran itu sebenarnya tidak ada. Kebenaran itu tergantung siapa yang mengatakannya,” tutur seorang hantu perempuan berwajah cantik yang muncul tiba-tiba di tengah-tengah amarah para lelaki itu.
“Ah, itu kan kata Anda. Kebenaran itu kan barang yang ada di kain putih tadi. Itu yang aku cari sejak tadi,” sahut hantu perempuan lainnya lebih keras mengalahkan suara bom yang meledak saat kata pertama lepas dari jeratan lisannya tadi.
“Anda kan memakai kacamata berwarna putih itu. Mestinya Anda memakai berlapis-lapis kacamata untuk melihat kebenaran. Entah itu kacamata hitam, merah, kuning atau abu-abu,” sanggah seorang hantu orang tua berkacamata yang rupanya seperti guru SD di desaku yang sudah terbakar rata dengan tanah.
Aku sudah tentu mesti berdiam diri. Meski aku juga sudah menjadi hantu. Aku agak segan menimpali kata-kata hantu orang tua itu. Aku pernah jadi muridnya. Aku masih ingat ketika dengan bersemangatnya dia menceritakan warna-warni Indonesia.
“Indonesia ini terdiri dari beragam suku bangsa, beragam agama dan kepercayaan, tapi mampu hidup bersama dan saling membagi,” papar dia sambil sesekali memegang kacamatanya yang hampir jatuh dari punggung hidungnya yang sukar disebut mancung itu.
Tapi kemudian lamunanku buyar, setelah salakan senapan kembali bersahutan diiringi teriakan.
“Rebut kebenaran di kain putih itu, rebut kebenaran di kain merah itu.” Rintihan memilukan kembali terdengar.
Ada yang merintih lantaran tangan dan kakinya hancur jadi abu terkena bom. Ada yang langsung rubuh mencium bumi. Mereka yang langsung dipanggil ke haribaan tuhan itu, langsung menjadi hantu. Hantu-hantu bertambah lagi. Ada yang berwarnah merah, ada yang berwarna putih, ada yang berwarna hitam, bahkan ada yang berwarna abu-abu. Ada yang berkacamata kuda, ada yang berkamata dengan beberapa lapis kaca warna-warni, ada yang sama sekali tak berkacamata. Ada yang ketika jadi hantu pun masih memanggul senapan.