Tanah Runtuh, sebuah enclave kecil di sudut Kota, Poso, Sulawesi Tengah, tiba-tiba menjadi terkenal sepanjang operasi pemberantasan terorisme di Poso. Pertempuran dahsyat berdurasi delapan jam lebih antara polisi dengan sejumlah tersangka kasus kekerasan di Poso, pada 22 Januari 2007 membuat nama kian sohor.

Sebetulnya, tak terlihat sesuatu yang istimewa dari kawasan tanah runtuh ini. Permukimannya sebangun dengan permukiman lainnya di Poso Kota. Bangunannya agak rapat. Jalan utamanya tak terlalu lebar.

Sebelumnya, kawasan ini lebih dikenal dengan nama PAM atau Perusahaan Air Minum. Karena tak jauh dari tempat itu terletak kantor PDAM Poso. Kondisi kawasan ini berbukit. Banyak pohon jati di tanam di atasnya. Hampir semua rumah memiliki tanaman pohon buah-buahan seperti mangga dan rambutan.

Kini disebut Tanah Runtuh lantaran badan jalan di sisi Sungai Poso di bibir kawasan yang masuk dalam Kelurahan Gebang Rejo, Poso Kota itu kerap runtuh.

Sejak beberapa tahun lalu, tak jauh dari lokasi tanah yang runtuh, sedikit menaiki bukit, berdiri sebuah pesantren putri yang bernama Al Amanah. Pesantren ini didirikan oleh Ustadz Haji Muhammad seorang tokoh ulama di Poso. Pesantren ini memiliki Madrasah Ibtidaiyah setara Sekolah Dasar dan Taman Kanak-kanak. 

Pesantren ini didirikan 4 Mei 2001 untuk menampung mantan santri Pesantren Walisongo, di Kilo 9 Lage, Poso, yang dibakar dan sekitar 200 santrinya dibunuh para perusuh dalam konflik Poso pada 28 Mei 2000.

Pesantren Amanah sendiri berdiri di dua lokasi berbeda. Pesantren Amanah di Tanah Runtuh menjadi tempat belajar santri putri dan santri anak-anak seusia taman kanak-kanak. Lalu yang satu lagi di Landangan, Poso Pesisir yang menjadi tempat belajar santri putra.

Tidak ada  kegiatan lain  yang  mencolok dari para santri kecuali belajar agama. Pengajaran agamanya disesuaikan dengan kurikulum nasional. Sedangkan pengajian kitab kuning dilaksanakan di luar jadwal jam pelajaran sekolah.

Iwan Ahmad, warga Tanah Runtuh, menyatakan  pesantren ini terkesan tertutup dari orang luar. Hal ini terjadi lantaran beberapa kali peristiwa kekerasan yang terjadi di Poso, pesantren ini selalu menjadi sasaran penggeledahan polisi. 

“Makanya mereka terkesan tertutup dan hati-hati kepada tamu,” ujar Iwan.

Tanah Runtuh adalah bagian Gebang Rejo, Kelurahan di Kecamatan Poso Kota.

Sebelum 1950, Kelurahan Gebangrejo masih disebut sebagai Kampung Gebangrejo yang menjadi bagian dari Kampung Gorontalo yang sekarang menjadi Kelurahan Bonesompe.

Dulunya, sebelum menjadi pemukiman, Gebangrejo adalah hutan lebat yang ditumbuhi banyak pohon Silar, sejenis pohon Palem. Itulah yang menjadi asal mula kata Gebang yang artinya Silar. Sementara rejo artinya subur. Itu adalah dua kata berasal dari Bahasa Jawa. Harapannya, agar Gebangrejo menjadi kampung yang maju, makmur dengan lahan pertanian yang subur.

Dari tahun 1950 – 1968, Gebangrejo yang sudah berpisah dari Kampung Gorontalo dipimpin  oleh  seorang  bekas  anggota  tentara  Kerajaan  Belanda  atau  KNIL bernama Soemadikoro.

Lalu setelah itu, dari 1968 – 1974, beralih ke Suhardjo, tetua masyarakat setempat. Saat itu, masuklah penduduk yang mengungsi dari Kabupaten Luwu, Palopo Utara, Sulawesi Selatan dan Jawa.

Pada 1974-1975, Gebangrejo beralih kepemimpinannya kepada Kepala Kampung Hagu Harun. Di akhir kepemimpinan Hagu, Kampung Gebangrejo berubah menjadi Desa. Saat itu, Desa tersebut dipimpin oleh seorang anggota ABRI  bernama Saridjo. Di masa kepemimpinan Saridjo, Desa Gebangrejo berubah menjadi Kelurahan. Ia memimpin hingga 1988.

Sepeninggal Saridjo, tepatnya dari 1988 – 1991, Kelurahan Gebangrejo dipimpin lagi oleh seorang anggota anggota ABRI bernama Sujawarso. Sampai kemudian pada 1991, tak cukup setahun, Kelurahan baru ini dipimpin oleh WD Manggede, seorang anggota Polisi Pamong Praja.

Setelah itu, lagi-lagi Gebangrejo dipimpin oleh seorang anggota ABRI bernama G. Parainta dari 1991-1995. Sejak Tahun 1995-2022 kini, kepemimpinan Gebangrejo beralih ke tangan sipil.

Tidak ada yang tahu pasti mengapa Gebangrejo berkali-kali dipimpin oleh militer. Dari sumber terbatas diketahui bahwa saat itu diduga sejumlah pelarian anggota PRRI-Permesta bersembunyi di tempat itu. Belum lagi sejumlah pengungsi yang lari dari Palopo Utara karena ketika itu wilayah tersebut masih dikuasai pasukan DII TII Kahar Muzakar.

Saat ini Gebangrejo sudah berkembang menjadi permukiman yang ramai. Kelurahannya telah bertambah menjadi Kelurahan Gebangrejo Barat dan Gebangrejo Timur, selain Gebangrejo induk. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) atau biasa disebut saja PAM berdiri di sini. Sejak saat itu, selain disebut Gebangrejo, dikenal pula sebagai PAM.

Pasca konflik Poso, ketika kekerasan berskala besar dan teror terus terjadi, nama  Gebang  Rejo  diidentikkan  dengan  Tanah  Runtuh.  Padahal  Tanah  runtuh hanya satu dari sekian banyak kampung kecil di kelurahan Gebang Rejo.

Tanah Runtuh, juga Gebangrejo, membumbung namanya, setelah konflik mengharubiru Poso. Setelah pembunuhan ratusan santri Pesantren Walisongo di Kilometer 9, Poso pada 28 Mei 2000  banyak  santri,  para  tenaga pengajar dan keluarganya lari ke wilayah itu.

Yayasan Badan Wakaf Ulul Albab berperan besar dalam memfasilitasi para pengungsi Walisongo tersebut sampai kemudian mereka mendirikan Pesantren Amanah pada tanggal 4 Mei 2001. Tokoh pentingnya adalah Ustadz Muhammad Adnan Arsal, ulama karismatik di Poso. Olehnya, tidak bisa dipisahkan nama Tanah Runtuh dari Pesantren Amanah.

Namun siapa sangka kemudian dari sinilah benih-benih apa yang disebut polisi sebagai kelompok bersenjata dan kemudian dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Mabes Polri bermula. Dari tanah yang subur bagi Silar, menjadi ladang yang subur bagi para mujahid. Mujahid, begitu warga setempat menamai mereka yang terpaksa mengangkat senjata, karena menurutnya Polisi tidak adil dalam menyelesaikan konflik Poso.

Dengan alasan dendam karena puluhan keluarganya terbantai saat kerusuhan, sebutlah sosok seperti Basri atau Santoso kemudian menjadi momok bagi Polisi saat itu. 

Polisi lalu memata-matai Pesantren Amanah dan Ustadz Adnan. Polisi memberi inisial Ustadz Adnan Arsal dengan AA. Sedang di kalangan Mujahiddin, ia dikenal sebagai Abu Fauzan. Kala itu, Ia dianggap banyak mengetahui siapa- siapa saja dari 29 nama DPO Mabes Polri. Saat ini, ke-29 nama DPO itu ada yang telah meninggal dunia, ada yang sementara ditahan usai menjalani sidang peradilan dan ada yang telah bebas. 

Ketika itu, Polisi menuduh Ustadz Adnan menyembunyikan mereka, namun Ustadz menyatakan bahwa anak-anak itu adalah korban konflik. Tapi, Polisi bersikukuh. Hukum harus ditegakkan. Maka digelarlah operasi pada 11 dan 22 Januari 2007. Ini adalah penyerangan bersenjata oleh Polri terhadap komunitas sipil atas nama operasi

penegakan hukum terkait dengan isu terorisme. Inilah yang menciptakan pola kekerasan massif baru di Poso dan tidak berupa konflik antar masyarakat.

Tidak kurang 15 orang korban jiwa di pihak sipil ditambah dua orang Polisi. Sejumlah DPO ditembak dan lainnya ditangkap lalu dibui. 

Tanah Runtuh makin melambung namanya setelah itu. Tidak ada yang tak mengenalnya. Padahal kelurahan dengan topografi berbukit itu terlihat biasa-biasa saja. Bukitnya penuh ilalang dan hutan jati. Masyarakatnya beragam. Tidak semua pula yang pernah memanggul senjata. *** 

Disklaim: Operasi penindakan kelompok Mujahiddin Indonesia Timur (MIT) sudah usai. Tak ada lagi pengerahan personel polisi dan tentara yang masif. Rangkaian tulisan ini adalah bagian dari buku: Poso di Balik Operasi Madago Raya. Catatan ini tak dimaksudkan untuk membuka luka lama amuk sosial di Poso, tapi sekadar menjadi referensi historik.