Sementara dalam hadis riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah disebutkan, suatu kali saat hari raya, datanglah hujan, maka para sahabat beserta Nabi shalat Id di masjid. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: “Sesungguhnya mereka (para sahabat) pada suatu hari raya diguyur hujan, maka Nabi shalat bersama mereka di dalam masjid.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Muhammadiyah pun, seperti termaktub dalam buku kumpulan fatwa tarjih Muhammadiyah, mengamalkan yang demikian. Artinya, jika tidak dalam keadaan hujan, shalat Id dilaksanakan di lapangan. Sementara jika hujan, dilakukan di masjid.
Nahdlatul Ulama (NU) juga menyoroti hal ini. Pada buku kumpulan keputusan muktamar, munas, dan Konbes NU (1926-2004) dinyatakan, shalat hari raya di lapangan hukumnya sunah apabila masjid tidak mencukupi. Sunah pula melaksanakan shalat hari raya di masjid untuk orang-orang yang tidak mampu datang ke lapangan.
Dalam kitab Minhajul Qawim disebutkan, “Disunahkan melaksanakan shalat hari raya di masjid demi kemuliaan masjid. Jika shalat di lapangan, hukumnya makruh wanita haid berdiri di pintu masjid. Kecuali jika masjid sudah tidak muat lagi, disunahkan melaksanakannya di lapangan sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Dalam keadaan masjid tidak muat, makruh melaksanakannya di masjid.
Sama dengan keleluasaan masjid, adanya hujan yang mencegah pelaksanaan shalat di lapangan (yakni tentang kemakruhannya). Secara mutlak disunahkan shalat di Masjidil Haram di Makkah dan Baitul Maqdis di Palestina sesuai dengan yang dilakukan para ulama salaf dan khalaf.”
Kitab yang sama juga menyebutkan, “Orang-orang yang kondisi fisiknya lemah dan orang-orang yang tidak mampu datang ke lapangan, disunahkan shalat hari raya di masjid.” ***