Udara di Distrik Theta berbau seperti oli tua dan tubuh terbakar. Di atas rel-rel maglev yang sudah lama mati, lampu-lampu pengintai berkedip dalam ritme aneh, seolah kota ini tengah mengingat mimpi buruknya sendiri.
Dari balik reruntuhan stasiun kargo, sosok berjubah gelap merayap tanpa suara. Tubuhnya langsing, nyaris tak berbayang, dan setiap langkahnya seakan menyatu dengan kegelapan. Ia bukan sekadar bayangan. Ia adalah luka masa lalu yang tak pernah sembuh. Mereka memanggilnya NOX.
NOX bukan bagian dari Resistance. Ia bukan bagian dari Iron Howl. Bahkan, ia bukan bagian dari siapa pun. Sejak eksperimen “Void Skin” gagal dan membakar setengah wajahnya, NOX menghilang dari sistem. Ia hidup di antara celah-celah algoritma pengawasan, di zona tak bernama yang tak bisa dipetakan, menyerap informasi seperti racun.
Dan malam ini, NOX mencium sesuatu di udara.
Nevara.
Ia melompat turun ke gang sempit, di mana kabel-kabel optik menjuntai seperti akar pohon. Sebuah drone pengintai berdengung rendah melewatinya, tapi NOX telah membungkus tubuhnya dalam jubah dengan lapisan penangkal panas. Tak terdeteksi. Tak terlihat. Tak terlacak.
Dari balik helmnya, sebuah peta holografik aktif. Titik merah muncul di dekat zona Echo–Delta: sinyal komunikasi tak terenkripsi selama 0,3 detik. Itu cukup bagi NOX untuk melacak.
Dia tersenyum kecil. Sudah lama ia ingin tahu siapa si topeng hitam itu.

Di sisi lain kota, Cael duduk di dalam ruang rahasia Rhea, di bawah perpustakaan tua yang kini jadi markas Resistance. Satu sisi dindingnya penuh layar dan kabel. Sistem pengawasan tua yang telah mereka retas dan aktifkan ulang. Di meja, sebuah chip data berpendar biru.
Cael baru saja mengunduh informasi dari chip itu. Ia tahu siapa musuhnya: Dr. Voro. Ia tahu siapa mereka: Iron Howl. Tapi satu nama di daftar membuatnya tak bisa tidur.
Project NOX. Status: Terminated. Subjek hilang.
“Rhea,” kata Cael, suaranya serak.
Rhea yang duduk bersila di sudut ruangan menoleh. Rambutnya diikat ketat, dan ada lingkaran hitam di bawah matanya. Semalaman ia membaca laporan-laporan rahasia yang berhasil mereka rampas dari markas bio-rekayasa sektor timur.
“NOX bukan hanya proyek,” kata Cael. “Ia hidup. Dan dia memburu kita sekarang.”
“Atau mungkin hanya mengamati kita,” sahut Rhea. “NOX itu legenda. Seperti bayangan yang tak bisa disentuh. Tapi kalau rumor-rumor itu benar…”
Cael mengangguk, mengingat satu kisah lama yang pernah ia dengar dari ayahnya saat masih kecil, tentang subjek eksperimental yang bisa masuk dan keluar sistem pertahanan kota tanpa terdeteksi, membungkam satu skuad hanya dengan satu napas racun.
“Dan kita mungkin target berikutnya,” bisik Cael.

Langit Kota Omega mendadak gelap meski jam menunjukkan siang. Badai buatan dari menara cuaca sektor 7A menggelapkan atmosfer, kabut asam turun seperti kabar buruk. Di lorong-lorong bawah tanah, anak-anak jalanan berlarian, menutup hidung mereka, menyelinap ke terowongan yang penuh tulang dan bau lumpur.
Tepat di bawah pusat kota, NOX berhenti.
Ia berdiri di depan sebuah pintu logam raksasa. Tua. Berkarat. Tapi kunci biometrik di sisinya masih hidup, meski berkedip lemah.
NOX membuka sarung tangan kanannya. Tangannya bukan tangan biasa. Ia adalah perpaduan daging dan bahan koloid hidup: setiap pori mengandung nanobot. Ia menempelkan tangannya ke pemindai. Setelah beberapa detik, pintu berderit terbuka.
Di baliknya, ruangan putih steril terbentang. Lampu-lampu menyala otomatis. Dan di tengah ruangan itu, sebuah tabung kaca berisi cairan hijau. Di dalamnya, sesosok tubuh kecil, setengah manusia, setengah mesin.
Tubuh itu tak bernyawa.
NOX mendekat.
Di sisi tabung, terukir kata-kata buram: “Subjek: NOX-B. Prototipe gagal. Dinonaktifkan 20 tahun lalu.”
Tubuh dalam tabung itu… adalah kembarannya.
NOX berdiri lama, memandangi dirinya sendiri yang tidak berhasil. Sebuah kilatan emosi muncul di matanya, entah sedih, entah marah, entah hampa. Ia memutar kembali rekaman suara terakhir yang tersimpan dalam ingatannya:
“Kita hanya alat, NOX. Tapi alat pun bisa patah… atau memberontak.”
Suara itu milik ayah kandungnya, Dr. Voro.
Sementara itu, di markas Iron Howl, Dr. Voro menatap layar dengan wajah tanpa emosi. Ia melihat log sistem markas bawah: gerbang sel 0 dibuka. Subjek NOX telah mengakses protokol lama.
“Dia ingat,” katanya.
Brakk mengernyit. “Apa kita hentikan dia?”
Voro menggeleng. “Tidak. Biarkan dia. NOX tak bisa dibunuh. Tapi dia bisa diarahkan. Lagipula, dia dan Cael… mereka dua sisi dari eksperimen yang sama.”
Brakk menatapnya curiga. “Maksudmu mereka…”
Voro mengangguk. “Proyek ‘Gemini’. Saudara biologis. Keduanya diciptakan untuk memimpin. Tapi hanya satu yang bisa bertahan.”
Ia menoleh ke layar, memanggil gambar wajah Cael.
“Pertemuan mereka akan segera terjadi,” gumam Voro. “Dan kota ini… akan menyaksikan sejarah baru.”

Malam itu, di atap bangunan tua, Cael berdiri sendirian. Angin membawa kabut asam dan suara mesin jauh di kejauhan. Ia merasa dadanya sesak, tapi bukan karena racun, karena sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
Dan di belakangnya, muncul suara:
“Jadi, ini kau… saudara kecil.”
Cael berbalik cepat, senjatanya terangkat. Tapi yang dilihatnya membuatnya membeku.
Seseorang berdiri di sana, mengenakan jubah kelam, wajahnya sebagian tertutup topeng, sebagian terlihat bekas luka dan kulit seperti batu.
“NOX?” tanya Cael.
NOX mengangguk perlahan.
“Kita punya banyak hal untuk dibicarakan… sebelum kota ini terbakar.”
Bersambung ke Episode 6 (Gemini Protocol)