Karavea, Pendekar Berkuda dari Tanjung Donggala

Episode 1: Sambutan Hangat di Pujananti

Kokok ayam hutan di pagi itu masih terdengar. Manik-manik embun masih melekat di dedaunan. Tiba-tiba pagi yang tenang itu, dikejutkan dengan deru derap tapak kaki kuda. Burung-burung kecil yang sepagi ini masih berdiam di sarangnya beterbangan.

Tapak kuda menderap makin cepat. Rapat menyatu dengan dengusan nafas kelelahan kuda-kuda itu. Ada tiga penunggang kuda yang terlihat juga bermandi peluh. Salah seorang di antaranya perempuan muda berselempang busur panah dan menggantung pedang.

Pagi yang damai sudah hilang. Kehadiran tiga penunggang kuda itu mengusik makluk di sekitarnya. Apalagi matahari yang masih sepenggalah sudah terik membakar. Kampung yang mereka datangi memang berhadapan dengan Pantai. Biasanya, sehari-hari aman dan tenang. Penduduknya lebih memilih menetap di bawah lereng. Meski mereka juga terbiasa melaut.

Para penunggang kuda hitam yang tinggi besar itu terlihat tergesa. Tak sedikit pun mereka melambatkan derap kudanya. Mereka cuma terhalangi sungai kecil di mulut kampung. Setelah itu mereka memacu kencang lagi kuda-kudanya. Ikat kepala mereka melambai tertiup angin pantai yang berlawanan dengan gerak mereka. Debu-debu berterbangan dihantam tapal kuda-kuda kuat itu. Mereka terus bergegas. Namun heran karena tak ada tanda-tanda kehidupan di kampung itu. Tak ada orang lalu lalang. Tiada asap mengepul dari permukiman.

“Apakah kita tidak salah jalan?” Salah seorang penunggang kuda yang tampaknya paling muda bertanya. Ia sepertinya adalah pemimpin kelompok penunggang kuda ini.

Wajahnya bersih dengan alis seperti golok. Ia terlihat disegani. Wajahnya penuh amarah. Berbeda dengan perempuan muda di sebelahnya, tampak lebih santai.

“Kakanda, kita tidak salah jalan. Sepertinya saya melihat agar gerakan di balik tanaman bambu di ujung sana,” kata perempuan yang rupanya adik dari laki-laki itu.

Pengawalnya pun meyakinkan.

“Opu, sesuai petunjuk kurir, jalan yang kita lalui sudah betul. Saya pun pernah melintas di sini beberapa tahun lalu, ketika mengawal ayahanda Opu, Datu Luwu,” kata pengawalnya sembari membuka peta dari kain.

Bila lelaki yang dipanggil Opu itu gelisah, lain halnya dengan gadis remaja itu. Ia sangat tenang, tapi waspada. Matanya menjelajahi daerah berpagar bambu itu. Ia pernah mendengarkan dari ayahnya bahwa Pujananti, kerajaan yang ditujunya ini belajar ilmu pertahanan dari Tanah China. Konon, Raja Pujananti, Daeng Tarenreng adalah seorang saudagar yang rajin berlayar. Hutan bambunya dibuat berlapis-lapis dan penuh jebakan. Hanya pendekar utama yang mampu menembusi benteng bambu ini.

Adapun ketiga orang yang datang menyambangi Kerajaan Pujananti ini tentu saja juga adalah pendekar utama. Ilmu silat mereka sudah mencapai tingkat akhir. Batari Fatimah, nama gadis itu, adalah pelatih prajurit Kerajaan Luwu. Adapun Kakaknya, Batara Dewaraja adalah Panglima Pasukan Kerajaan. Sementara pengawalnya, La Basso adalah anggota pasukan khusus pengawal keluarga kerajaan. Ia terlihat sangat percaya diri. Padahal senjatanya cuma sebilah keris, yang dimasukkan di bagian depan sabuknya.

“Kalau begitu kita sudah sampai La Basso,” kata penunggang kuda yang dipanggil Opu.

“Tapi mengapa tidak ada sambutan apapun. Bukankah mereka sudah tahu kita akan datang. Tak ada tanah datar tempat mengaso, tak ada daun buat berteduh dan tak ada bumbung bambu berisi air sejuk tanda tata krama,” kata lelaki itu tak sabar lantaran tuan rumah menyambutnya secara sembunyi-sembunyi.

“Kakanda, hati-hati. Saya melihat rumpun bambu seperti disapu angin,” teriak Batari Fatimah.

Anak gadis ini memang sudah dari terlihat awas. Matanya tajam. Tingkat ilmu batinnya bahkan hampir setara kakaknya.

“Bukkkk…” Perut kuda tunggangan La Basso terkena timpukan sepotong tanah keras. La Basso pun langsung berjumpalitan. Ia lalu berdiri menatap sekelilingnya. Ia melihat seperti ada gerakan di rumpun bambu tapi tak ada wujudnya.

“Maafkan kami, Pua Raja. Kami sudah datang ke sini mengantar hati. Kami membawa salam persaudaraan dari Batara Guru. Saya datang bersama Opu Batara Dewaraja dan Batari Fatimah ingin menyambung tali persaudaraan, tak hendak berselisih,” kata La Basso dengan pengerahan tenaga dalam. Suaranya menggema ke seantero hutan bambu, sambung menyambung.

“Sungguh lihai para pasukan pengawal Kerajaan Pujananti. Kemampuan mereka bak dewa. Mereka mampu menutupi tubuh kasar mereka. Saya akan tinggal di sini sepulangnya Kakanda Batara Dewaraja,” ucap gadis itu membatin.

Meski sudah diserang sekali, La Basso dan Batari Fatimah tetap tenang. Mereka yakin itu bukan untuk mencelakai mereka. Agaknya tuan rumah hendak menguji mereka. Hanya Batara Dewaraja yang terlihat uring-uringan mendapat sambutan macam itu. Sikapnya yang memang lugas itu kerap membawa masalah, tapi ia sesungguhnya pemuda yang welas asih pada sesama. Ia dicintai oleh rakyatnya.

Tiba-tiba, didahului bunyi derap tapak kuda, tiga orang anggota pasukan berkuda menuju mereka dari sebelah lereng. Kuda yang membawa mereka seolah tak berbeban. Langkahnya ringan. Itu tanda bahwa penunggangnya adalah Pendekar lihai. Pemimpinnya lelaki yang tak kalah tampan dari Batara Dewaraja. Kepalannya bertutup Siga berwarna merah. Di pinggang kirinya ada sebatang Guma yang dililit dengan kain sutra berwarna senada dengan Siga. Warna merah adalah tanda bahwa dia adalah Panglima Pasukan Pengawal Khusus Kerajaan Pujananti. Di sampingnya dua pengawal terlihat tegas tapi tenang.

La Basso spontan bersimpuh. Ia yang lebih tua dan paham tata krama pasukan. “Panglima, kami menyampaikan uluk salam dari Datu Tana Luwu. Kami datang hendak mempererat persaudaraan. Mohon kami dapat diterima Pua Raja,” pinta La Basso.

Batara Dewaraja terkejut. Tak biasanya La Basso begitu merendahkan diri. Kelihaian pengawalnya itu sudah tersohor. Tak jauh dari tingkatannya, tapi kali ia benar-benar merendah diri dengan bersimpuh di hadapan lelaki yang dipanggilnya Panglima itu.

“Wusss…” Tiba-tiba angin pukulan menghantam La Basso dari arah depannya. La Basso pun berkelit, tanpa bergeser banyak dari tempatnya bersimpuh. Ia pun paham pasukan tuan rumah hendak mengujinya. Sambil tetap bersimpuh ia waspada. Pukulan kedua yang datang langsung ditangkisnya. Ia tak ingin dianggap memandang rendah tuan rumah. Meski demikian cuma setengah kekuatan yang ia kerahkan. Akibatnya, pengawal Panglima tadi tergeser setombak dari posisi awalnya. La Basso pun merasakan tangannya kesemutan. Ia juga tergeser dari tempatnya bersimpuh. Masing-masing pihak pun tahu kekuatan mereka.

Panglima dengan senyum mengembang pun langsung bertepuktangan.

“Cukup. Kekuatannya berimbang,” teriak Panglima Kerajaan Pujananti dari atas kudanya.

“Tak sia-sia jalinan persaudaraan Pujananti dan Luwu sejak masa Sawerigading. Kedua kerajaan ini patut saling mengandalkan sewaktu-waktu ada serangan dari kerajaan lain,” ujar Panglima sembari mempersilahkan para tetamu dari Kerajaan Luwu mengikuti mereka menuju ke Istana Kerajaan Pujananti di balik benteng rumpun bambu itu.

Bersambung ke Episode 2: Karavea, Pendekar Berkuda dari Tanjung Donggala: Cinta Bersemi di Pujananti