Maka mengalirlah kisah di antara mereka. Sesekali tawa keduanya terdengar. Angin laut yang basah sepertinya membawa suara mereka sampai jauh. Mungkin karena itu orang-orang memandang keduanya.
“Mungkin saja ada yang bilang, kami pasangan serasi,” kata Ahmad membatin.
Lelaki itu memang harus mengakui, gadis bersuku Jawa – Mandar itu sungguh membuat luruh hatinya.
***
Gempabumi bermagnitudo 6,2 meluluhlantakan Mamuju, Sulawesi Barat sudah sepekan berlalu. Ahmad Alghifary baru tiba Minggu, 17 Januari 2021. Ia bertemu gadis tadi Senin, 18 Januari 2021.
Saat itu, Sari Bulan bilang bahwa ia adalah Dokter Umum di Rumah Sakit Mitra Manakarra. Ini tahun pertamanya di rumah sakit itu.
“Saya lahir di Pasangkayu, Bang. Bapak saya Jawa dan Ibu saya orang Mandar. Jadi saya ini gadis manja, Mandar – Jawa maksudnya,” tuturnya sambil terkikik.
Ia tamat dari Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Lalu menjalani stase atau koas kedokteran di rumah sakit Wahidin Soedirohusodo, Makassar. Koas atau Coas, akronim dari Co-Assistant adalah proses yang harus dijalani dokter muda untuk menimba ilmu pada seorang dokter senior di sebuah rumah sakit.
Selepas dari masa Koas itu, ia kemudian bekerja di rumah sakit yang terkenal di Mamuju ini.
***
“Hai, Gadis Manja, saya sudah menaruh kira, kau akan ada di sini di saat mentari beranjak pulang,” teriak Ahmad.
Gadis itu membalas teriakannya dengan tawa berderai. Ujung kemeja putih yang dipakainya basah. Ia pasti bermain-main dengan ombak. Ahmad pun menyapa Sari Bulan dengan riang. Mata orang-orang lalu kembali menatapnya. Ada pula yang berbisik.
“Mereka mungkin cemburu,” pikir Ahmad lagi, membatin.
Bagaimana tidak, sepanjang petang tak ada yang menyapa gadis itu dengan akrab. Padahal penampilannya simpatik. Saat memandang orang lain, selalu ada senyumnya tersungging tipis. Entah kenapa tak ada yang berani menyapa atau akrab berbincang dengannya.
Meski itu jadi pikirannya sehari dua ini, ia tak ambil pusing. Bertemu Sari Bulan di tengah bencana ini seperti menemukan oase di Gurun Sahara. Siapa yang tak akan jatuh hati pada pemilik wajah elok penuh senyuman itu?!
Saat kali pertama bertemu mereka bicara soal fotografi, kali ini soal lebih serius lagi.
“Setelah ini yang harus kita lakukan adalah konseling untuk mengatasi trauma para penyintas. Coba lihat warga yang mengungsi itu, rumah mereka tak hancur, harta benda lainnya utuh, tapi mereka dicekam ketakutan. Mereka memilih bertahan di dataran tinggi meninggalkan rumah mereka,” paparnya panjang lebar.
Dan Ahmad yang memang besar di Palu, Sulawesi Tengah mahfum adanya. Bencana yang memporakporandakan wilayah itu memberinya banyak pelajaran.
Pembicaraan mereka pun mengalir. Ahmad membeber data korban gempa yang sudah mencapai 90-an orang. Sari Bulan menjelaskan bagaimana penanganan para korban yang selamat. Tentu saja, karena Ahmad adalah jurnalis, maka itu menjadi bahan beritanya.
“Dasar ya, apa saja bisa jadi berita,” tukas Sari Bulan saat Ahmad bilang bahwa ia akan mengutip penjelasan dokter muda itu.
Sari Bulan kemudian menceritakan mengapa Mamuju dikenal juga sebagai Bumi Manakarra dan pantai ini diberi sebutan Pantai Manakarra.
“Pada Juli 2021 nanti kota ini sudah berusia 481 tahun. Ini dihitung dari awal menyatunya tiga kerajaan tua menjadi Kerajaan Mamuju pada 1540 Masehi,” jelas dia seperti guru sejarah.
Manakarra itu, lanjutnya, secara harafiah berarti Pusaka yang Sakti. Dulunya Pelabuhan Kurri-Kurri di Mamuju adalah pelabuhan internasional tempat membuang sauh para pelaut Portugis.
Hari kedua pertemuan mereka berakhir setelah adzan Magrib berkumandang dari Masjid Agung Syuhada. Ahmad bergegas menuju posko jurnalis di komplek Kantor Gubernur Sulawesi Barat, begitu pun Sari Bulan yang bergegas. Sampai sejauh ini, mereka tak saling bertanya nomor kontaknya masing-masing.
***
Rabu, 20 Januari 2021. Sudah sejam lamanya Ahmad Alghifary duduk menghadap laut. Berganti-ganti menatap Pulau Karampuang dan lurusan garis pantai. Matanya
mencari-cari. Di mana gerangan Sari Bulan berada. Hendak bertanya pun ia malu.
Orang-orang sedari tadi melihatnya menengok kesana-kemari. Sampai kemudian ada yang menyapanya.
“Pak cari siapa ki,?” tanyanya dalam dialek setempat.
“Maaf, saya mencari perempuan yang selama dua hari kemarin bertemu dengan saya di sini,” jawab Ahmad.
“Siapa namanya ki,” tanya orang itu lagi.
“Pada saya dia perkenalkan diri, namanya Sari Bulan. Orang Mandar – Jawa. Dia dokter di Rumah Sakit Mitra Manakarra,” jawab Ahmad lagi.
“Astagfirullah, astagfirullah. Pantas ku lihat ki seperti orang linglung bercakap-cakap dan bercerita sendiri. Makanya orang-orang yang melihat kita berbisik-bisik. Ada yang bilang kita itu korban gempa yang mungkin sudah terganggu jiwanya,” sebut orang itu.
Ahmad pun terkejut. Ia heran, mengapa mereka berkata begitu.
“Kami kenal Dokter perempuan itu. Ia memang orang baik. Semua orang dia sapa kalau dia ke sini setiap sore sebelum Magrib. Dia selalu shalat magrib di Masjid Syuhada. Jarang ku lihat dia shalat di Masjid lain,” tutur lelaki yang kemudian mengenalkan diri sebagai Andi Asri itu.
Dokter Sari Bulan, kata Asri kemudian, menjadi salah seorang korban gempa pada Jumat, 15 Januari 2021 itu. Jenazahnya baru bisa dievakuasi oleh Tim Search and Rescue pada Rabu, 20 Januari 2021 pagi. Ia dikenali dari name tagnya.
Ahmad pun terperanjat. Itu artinya selama dua hari ini ia bertemu dan berbicara dengan arwah perempuan yang sudah berpulang.
“Tapi saya tidak merasa apa-apa, Pak. Saya tidak merinding. Saya senang bisa bertemu dengan dokter itu,” aku Ahmad.
“Iya, Pak. Makanya kami semua di sini heran melihat Bapak bicara dan tertawa sendiri, maaf, seperti orang gila,” ujar Asri.
***
Adzan sudah sampai di lafal Lailahailallahu. Magrib sudah bertandang. Angin Pantai Manakarra tiba-tiba terasa dingin. Ahmad merinding. Seperti ada suara Sari Bulan terdengar. Ia berpamitan. Merinding bulu kuduk lelaki yang biasanya tak kenal takut ini.
Ia sama sekali tak menyangka, Gadis yang ditemuinya di Pantai Manakarra itu adalah arwah dokter muda yang tertimbun reruntuhan rumah sakit tempatnya bekerja.
Ahmad bergegas. Tapi langkahnya seperti berat. Pasir pantai seperti merekat kakinya. Barulah ketika dia beristighfar; “Astaghfirullah” langkah kakinya meringan.
Bumi Manakarra sudah berselimut gelap. Aliran listrik yang padam di setengah kota membuat suasana makin sunyi. Suara angin lirih seperti membawa duka nestapa. ***
Bumi Manakarra, Selasa, 19 Januari 2021
Keterangan:
Ki: kita, mewakili kata kamu atau Anda (dialek Bugis)
Astagfirullah: Ampunilah dosa-dosaku, ya Allah (Bahasa Arab)