Apartemen Shinta. Tengah Malam. Satria terbangun dari tidurnya. Bukan karena mimpi buruk. Tapi karena rasa dingin… bukan di kulit, melainkan di dalam dada. Ia menatap sekeliling. Sunyi. Tapi ada getaran samar di udara—seolah sesuatu sedang dipaksa disembunyikan oleh semesta.

Shinta belum kembali. Jam menunjukkan pukul 01.43. Ia tahu, gadis itu kerap lembur untuk perusahaannya. Tapi malam ini lain. Shinta pergi tanpa kabar, tanpa pesan.

Dan sejak ia menguasai Jurus Bayangan Ketiga, indra batinnya makin tajam. Ia bisa mencium perubahan. Bahkan dari orang yang paling ia percayai.

Di Tempat Lain. Kantor Widyawati Corp, Lantai Rahasia. Shinta duduk sendirian di ruang monitor, menatap rekaman-rekaman pergerakan Satria selama tiga bulan terakhir.

Di layar hologram: catatan aktivitas, lokasi pelatihan, dan… satu rekaman saat Satria membaca Kitab Warisan Mahesa. Di belakangnya, muncul bayangan ibunya: Sarah Widyawati, tegak, anggun, tak pernah kehilangan kendali.

“Kau sudah terlalu dekat,” kata Sarah pelan.

“Kalau kau terus melibatkan perasaan, Satria akan menjadi racun bagimu… dan bagi kita semua.”

Shinta berdiri. Matanya berkaca.

“Dia bukan seperti Mahesa. Dia punya pilihan. Dia bisa menyembuhkan apa yang Ayahnya hancurkan.”

Sarah mendekat. Ia menyentuh pundak anaknya. Suaranya dingin namun tajam.

“Kau jatuh cinta pada pria yang mungkin akan menghapus nama keluargamu dari sejarah. Kau pikir dia akan memilihmu jika tahu siapa ibumu sebenarnya?”

Shinta memalingkan wajah. Tapi diam.

Pagi Hari. Rooftop Apartemen. Satria berdiri memandangi Kota Cendana. Di saku bajunya, terselip secarik memo kecil—ditulis tangan Shinta sebelum pergi semalam: “Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Jangan cari aku dulu.”

Namun hati Satria bukan hati biasa. Ia bisa merasakan ketika cinta mulai goyah… atau diarahkan. Ia bisa mengendus motif yang menyamar sebagai kasih sayang.

Dan yang lebih mengerikan: Ia tak tahu apakah ini hanya kecurigaan… atau kebenaran yang akan menghancurkannya.

Pertemuan Rahasia. Taman Kota Cendana Satria akhirnya bertemu Ayu Laranti, satu-satunya mantan anggota Langit Hitam yang mulai goyah dan mencoba keluar.

Mereka bertemu di bawah patung kuda logam tua—ikon kota yang pernah jadi saksi pemberontakan para pendekar urban. Ayu memandangi Satria, lalu menyerahkan satu map merah.

“Ini bukan tentang kekuatan, Satria. Ini tentang warisan. Kamu bukan satu-satunya pewaris Mahesa.”

Satria menegang. “Maksudmu?”

Ayu menarik nafas dalam.

“Mahesa punya dua anak. Kamu… dan satu lagi… yang tak pernah dikenalkan ke dunia pendekar. Disembunyikan dalam silsilah Widyawati.”

“Namanya… Shinta.”

Dunia Satria Hancur Dalam Diam. Ia tak bicara. Tak marah. Tak menolak. Ia hanya diam… lebih diam dari kematian.

“Aku mencintai seseorang… yang sejak awal mungkin hanya dikirim untuk mengawasi… atau membunuhku.”

“Atau lebih buruk—yang mencintaiku tulus… tapi dipaksa mengkhianatiku.”

Ayu menatapnya dengan mata iba.

“Kau harus memilih, Satria. Cinta atau kepercayaan. Keduanya tak akan bisa kau pertahankan sekaligus.”

Di Tempat Lain. Shinta di Kamar Gelap. Shinta duduk di depan meja rias. Ia membuka laci tersembunyi dan mengeluarkan cincin obsidian kecil, sama dengan milik Mahesa—warisan dari Sarah Widyawati. Air matanya jatuh ke permukaan kayu.

“Aku anak dari bayangan. Tapi kenapa hatiku jatuh pada cahaya?”

“Jika dia tahu siapa aku… haruskah aku memeluknya, atau melepaskannya… demi keselamatan kita semua?”

Dan dunia pun tahu, cinta yang dibangun dari dua darah berbeda—terang dan gelap—adalah cinta yang hidup di medan ranjau. Satu langkah salah… bisa membuat segalanya meledak.

Bersambung ke Episode 17: Jejak Rahasia di Darah Mahesa…